QUO
VADIS
TATA KELOLA ENERGI NASIONAL
Oleh : Arip Perbawa 120310100029

Indonesia
adalah salahsatu Negara yang kaya akan sumber daya energy. Mulai dari energy
minyak dan gas (migas), air, angin, panas bumi (geothermal), surya, laut dan
energy nuklir. Hanya yang menjadi permasalahannya adalah selama ini kita masih
bertumpu pada energy minyak dan gas (migas), sedangkan sumber-sumber energy
yang lain masih belum di optimalkan untuk di gunakan. Sebagaimana kita ketahui
bahwa cadangan energy minyak bumi Indonesia diperkirakan sampai sekarang ini
adalah 9 milyar barel, dengan tingkat
produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan
minyak akan habis dalam waktu 18 tahun. Cadangan gas diperkirakan 170 TSCF
(trilion standart cubic feed) sedangkan kapasitas produksi mencapai
8,35 BSCF (billion standart cubic feed). Cadangan batubara diperkirakan 57
miliar ton dengan kapasitas produksi 131,72 juta ton per tahun (fuadrofiqi.blogspot.com).
Ironisnya indonesia sejak tahun 2004
menjadi Negara pengimpor minyak bumi karena besarnya konsumsi minyak terutama
premium dan solar. Padahal sebelum tahun 2004, Indonesia adalah Negara
pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC (Organization of the Petroleum
Exporting Countries). ini semua menjadi pekerjaan rumah
pemerintah dan rakyat untuk bersama-sama mengelola sumber energy di Indonesia. Apabila
hal ini tidak diperhatikan maka lambat laun ini akan menjadi ancaman serius
bagi bangsa Indonesia. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan seharusnya dari
sekarang membuat kebijakan-kebijakan untuk ketahanan energy di Indonesia.
Banyak cara untuk mewujudkannya misalnya mengembangkan sumber energi yang belum
dioptimalkan dengan baik (air,angin,panas bumi,surya), mencari dan
mengembangkan sumber energi alternative terbarukan, mengurangi pengelolaan
minyak dan gas oleh pihak swasta asing, dan mengurangi penggunaan BBM.
Untuk
pengembangan sumber energi yang belum dioptimalkan dengan baik perlu turun
tangan pemerintah dalam pengelolaannya. Dalam hal penggunaan batubara dan gas bumi
(yang selama ini hanya difokuskan untuk ekspor) untuk pembangkit listrik
menggantikan BBM terbukti mengurangi pemakaian BBM untuk pembangkit listrik,
dari 34 persen kompas.com, 5 Juni 2006)
pada tahun 2006 menjadi 29 persen pada tahun 2008 kompas.com, 4 Juni 2008).
Walaupun metode ini terbukti efektif mengurangi konsumsi BBM, tetapi polusi
yang dihasilkan dari pembakaran batubara cukup parah, sehingga dibutuhkan alternatif
energi lain yang lebih bersih. Sebagai alternatif lain, potensi energi
geotermal Indonesia yang sebesar 27.000 MegaWatt (atau 40 persen potensi energi
geotermal dunia) merupakan yang terbesar di dunia. Sayangnya, potensi ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2008, tidak sampai 8 persen potensi
energi geotermal yang dimanfaatkan untuk PLTPB, padahal dari potensi energi
panas bumi saja sudah hampir mampu untuk mencukupi kebutuhan listrik di
Indonesia tahun 2008 yang sekitar 29.000 MW, atau bahkan lebih dari seperempat
kebutuhan listrik Indonesia tahun 2020 yang diproyeksikan sebesar 100.000 MW.
Alternatif lainnya adalah penggunaan nuklir untuk
membangkitkan listrik. Terlepas dari perseteruan antara WALHI vs BATAN seputar
pemanfaatan nuklir untuk PLTN, data badan energi A.S. tahun 2006 menunjukkan
bahwa fuel cost untuk energi nuklir merupakan yang terendah (US$ 0,0172 per
kWh), di bawah batubara yang US$ 0,0237 per kWh ; sementara minyak bumi adalah
yang tertinggi (US$ 0,0963 per kWh). Hanya saja, biaya operasi dan maintenance
untuk PLTN masih lebih tinggi daripada batubara. Pemerintah sendiri berencana
membangun sampai 3 PLTN dengan total kapasitas minimal 3.000 MegaWatt, dan
diharapkan bisa mulai beroperasi pada tahun 2016. Indonesia sendiri ternyata
memiliki cadangan uranium yang luar biasa melimpah di Papua, Kalimantan Barat,
dan Kalimantan Tengah.
Adapun energi panas matahari juga cukup menjanjikan. Pulau
Kalimantan yang terletak di khatulistiwa mendapatkan intensitas radiasi
matahari yang konstan sepanjang tahun. Di pulau Kalimantan, intensitas puncak
radiasi pada tengah hari bisa mencapai 1,02 kW / m2. Dengan asumsi efisiensi
terendah (15 %) dan luas panel 400 m2, maka potensi daya maksimum yang bisa
dibangkitkan adalah 61,5 kW (atau rata-rata harian sebesar 20 kW). Kendala dari
pembangkit listrik tenaga surya ini adalah hanya dapat beroperasi jika ada
sinar matahari. (arton.blog.uns.ac.id/2009/08/25/masalah-energi/).
Dalam hal pengembangan sumber
energi alternative, pemerintah bisa bekerjasama dengan rakyat dalam pembuatan
energinya seperti pembuatan energi biomass. Masyarakat Indonesia sendiri sudah
memanfaatkan biomass untuk memasak sejak dahulu, yang umumnya berasal dari
batok kelapa, kayu bakar, serbuk gergaji, maupun sekam / merang padi. Di
Indonesia, perkebunan kelapa sawit di Kalteng saja berpotensi menghasilkan
listrik lebih dari 200 Mega Watt. Belum lagi biomass yang berasal dari tempat
dan sumber lain di Indonesia, seperti sekam padi dan ampas tebu. Pengadaan
listrik dari biomass juga dapat mengurangi pengangguran, karena dapat
digolongkan sebagai kegiatan padat karya. Selain itu, potensi dari enegri
alternative seperti bahan bakar nabati (BBN) berupa biodiesel dan bioethanol serta
BBM sintetis dari proses coal
liquefaction (destilasi cair batubara) yang di hasilkan dari batubara perlu
juga mendapat perhatian. Indonesia adalah Negara pengekspor batubara kedua
terbesar dunia. Akan lebih baik jika batubara ini diproses di dalam negri
menjadi BBM sintetis (premium dan solar) untuk memenuhi kebutuhan BBM domestik
daripada sekedar mengekspornya ke luar negeri. Untuk bioethanol bisa
menggunakan singkong dan tebu dalam pembuatannya. Pembuatan bioethanol sudah
diterapkan oleh Negara Brazil, pada tahun 1975, telah dimulai program
Pro-Alcool (Program Alkohol Nasional) yang dipicu krisis minyak di negara
tersebut dua tahun sebelumnya. Hingga saat ini, program tersebut telah berhasil
mengurangi 10 juta mobil berbahan bakar bensin. Pajak yang tinggi bagi bensin
dan subsidi pemerintah bagi usaha ethanol, menyebabkan industri ethanol
berkembang dengan subur di Brazil. Ini bisa dicontoh oleh Indonesia, karena
Brazil merupakan Negara tropis yang hampir sama dengan Indonesia.
Dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas seharusnya
pemerintah mengurangi jumlah perusahaan swasta asing. Terutama dalam
kepemilikan saham, misalnya kalau bisa pemerintah yang memegang kendali dengan
perbandingan 50+1 bagi pemerintah. Karena sebagaimana kita ketahui seharusnya pemerintah
harus mengedepankan kepentingan nasional dan optimalisasi manfaat ekstraksi
sumberdaya mineral untuk kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam
yang tidak terbarukan sesuai dengan
UUD 1945 pasal 33. Contohnya kasus yang masih hangat baru-baru ini mengenai
pembelian saham PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) oleh pemerintah melalui Pusat
Investasi Pemerintah (PIP) adalah langkah yang tepat. Walaupun terjadi clash
antara DPR dan Pemerintah, tetapi disini pemerintah sudah melakukan hal
yang tepat. Menurut Fabby Tumiwa, seorang peneliti dari Institute
for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel bertema: “Quo Vadis Tata Kelola Sumberdaya Alam
Indonesia: Mengkaji Kasus Pembelian Saham PT NNT,” menyebutkan, pandangan
tradisional yang menganggap bahwa negara hanya perlu menggantungkan
penerimaannya dari royalti dan pajak harus dirubah. Negara melalui pemerintah
yang legitimate seharusnya
didorong untuk berinvestasi di sektor-sektor sumberdaya alam untuk
mengoptimalkan manfaat sumberdaya untuk kemakmuran rakyat. Untuk itu pemerintah
dapat memakai Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang dapat dinyatakan
sebagai Sovereign
Wealth Fund untuk melaksanakan tugas tersebut.
Untuk mengurangi
ketergantungan pada BBM, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan
Bakar Minyak (BBM), yang diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006
(tertanggal 25 Januari) tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati
(biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Ini semua perlu waktu dan konsistensi
pemerintah dalam melaksanakan ketahanan energi. Bukan sebuah mimpi jika dalam
beberapa waktu kedepan Indonesia bisa mengelola sumber-sumber energi secara
mandiri. Dengan catatan adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan
akademisi dalam sosialisasi energi pengganti minyak dan gas (migas). ©AP 2012
0 comments:
Post a Comment