This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sunday 16 May 2010

LABA PERBANKAN SYARIAH

Laba Perbankan Syariah Tumbuh 83 Persen PDF Cetak E-mail


Jakarta, Kompas - Laba bersih perbankan syariah tahun 2009 mencapai Rp 791 miliar, tumbuh 83 persen dibandingkan tahun lalu. Peningkatan kinerja yang signifikan tersebut tak terlepas dari strategi perbankan syariah yang sangat fokus pada sektor mikro, kecil, dan menengah.

Kontribusi laba yang signifikan disumbangkan salah satunya oleh Bank Syariah Mandiri (BSM). Pada tahun 2009, BSM mencatat laba sebesar Rp 291 miliar, tumbuh 48,47 persen dibandingkan dengan tahun 2008 yang sebesar Rp 196 miliar.
Direktur Utama BSM Yuslam Fauzi saat memaparkan kinerja 2009, Rabu (14/4) di Jakarta, menjelaskan, penyumbang terbesar kenaikan laba adalah pendapatan operasional, terutama dari penyaluran dana. Pendapatan dari penyaluran dana BSM tahun 2009 mencapai Rp 2,14 triliun, naik 18,23 persen dibandingkan dengan tahun 2008 sebesar Rp 1,81 triliun.

Adapun posisi pembiayaan BSM per akhir 2009 mencapai Rp 16,06 triliun, naik 20,93 persen dibandingkan akhir tahun 2008 sebesar Rp 13,28 triliun.

Menurut Yuslam, hingga akhir Desember 2009 aset BSM mencapai Rp 22,04 triliun (audited) atau naik 29,12 persen dibandingkan posisi Desember 2008 sebesar Rp 17,07 triliun. Peningkatan aset ditopang pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang pada akhir 2009 mencapai Rp 19,34 triliun, naik 29,89 persen dibandingkan sebelumnya.

”Modal BSM juga meningkat dari Rp 1,21 triliun pada akhir 2008 menjadi Rp 1,60 triliun pada akhir 2009,” kata Yuslam.

Menurut Yuslam, BSM fokus pada sektor ritel dan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Per akhir 2009, porsi dana ritel sebesar 61,6 persen dan dana korporasi 38,4 persen. Sementara di sisi pembiayaan, porsi yang disalurkan untuk sektor UMKM mencapai 60,95 persen dan korporasi 39,1 persen.

Pangsa pasar aset BSM pada industri perbankan syariah nasional mencapai 33,30 persen.

Sukuk

Sementara itu, PT Titan Petrokimia Nusantara berencana menerbitkan obligasi dengan tingkat bunga tetap maksimal Rp 300 miliar dan sukuk ijarah maksimal Rp 200 miliar.

Sebagai penjamin pelaksana emisi obligasi dan sukuk ijarah ini adalah PT Standard Chartered Securities Indonesia dan PT Indo Premier Securities, sedangkan bertindak sebagai wali amanat dan agen jaminan adalah PT Bank CIMB Niaga Tbk.

Demikian rilis yang diterima pada hari Rabu di Jakarta. PT Titan telah memperoleh hasil pemeringkatan efek utang jangka panjang dari PT Fitch Rating Indonesia dengan rating A+ (Single A plus dengan outlook stabil)

Obligasi dan sukuk ijarah memiliki jangka waktu 5 tahun terhitung sejak tanggal emisi dan akan jatuh tempo pada tanggal perkiraan 18 Mei 2015.

Obligasi dan sukuk ijarah yang ditawarkan dijamin dengan jaminan khusus, berupa hak tanggungan atas tanah-tanah beserta bangunan-bangunan, sarana-sarana pelengkap lainnya, serta mesin-mesin dan peralatannya milik perseroan, minimal sebesar 110 persen dari nilai pokok obligasi yang terutang dan sisa imbalan sukuk ijarah.

Dana yang diperoleh dari hasil penawaran umum obligasi dan sukuk ijarah, setelah dikurangi biaya-biaya emisi, akan digunakan untuk modal kerja perseroan berupa pembayaran utang usaha yang berkaitan dengan pembelian bahan baku. (FA

PRADIGMA ZAKAT

Merubah Paradigma Zakat PDF Cetak E-mail


zakatZAKAT adalah kewajiban inti Islam. Melalui syariat ini, mekanisme distribusi kesejahteraan dalam konsep Islam, diejawantahkan. Ada perpindahan kekayaan dari yang mampu ke yang tidak mampu. Karena itu, membahas zakat secara paradigmatis dan kontekstual sangat penting. Paradigmatis berarti mengenai pola pikir dan pemaknaan zakat sesuai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan rakyat. Serta kontekstual, artinya ada pertimbangan nilai kekinian dalam syariat itu.
Mari kita kutip al-Quran Surah al-Ma’un. Jelas di situ diterakan, “Tahukah engkau (orang atau kumpulan orang atau negara) yang mendustakan agama...”. Jadi negara yang mendustakan agama adalah negara yang tidak sungguh-sungguh mengurusi kaum miskin. Ayat itu menyebutkan, ciri kesalehan suatu pribadi, institusi dan negara adalah pemihakan kepada yang terpinggirkan. Benar agaknya, faktor kesalehan akan terganggu jika masalah ekonomi terganggu. Ajaran Islam tidak hanya masalah spiritual tapi juga material.

Oleh karena itu, ketika berbicara masalah keadilan, harus kita mulai dengan keadilan material (ekonomi). Dalam konteks, ini kita bisa melihat negara sebagai instrumen yang powerfull, hal itu disikapi dan diintervensi oleh Islam dengan menggunakan komponen material, yaitu berupa pajak.

Pajak adalah “darah-kehidupan (life-blood)” tubuh kekuasaan bernama negara. Pajak dibayar negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Juga ibarat makanan bagi tubuh manusia; jika makanannya halal dan baik, tubuh menjadi sehat dan kehidupan pun penuh berkah. Sebaliknya jika makanannya buruk lagi haram, maka tubuh akan penyakitan dan kehidupan jauh dari keberkahan.

Bongkar Paradigma

Di sini timbul pertanyaan, bagaimana pajak itu dipersepsikan—yang kemudian diturunkan dalan kebijakan dan regulasi negara? Terlebih lagi, jika kita melihat, selama ini anggaran untuk belanja aparat dari APBN mencapai angka 70 persen, apakah ini bisa dibenarkan dalam kacamata zakat? Kita selama ini tidak menganggap itu sebagai masalah, karena kita tidak memiliki kerangka paradigma yang tegas. Karena itu, ada beberapa hal yang hendaknya jadi pokok pikiran dalam diskusi ini.

Pertama, tidak ada asma Allah dalam pajak. Kita terlanjur terlalu lama menjadi sekuler, memisahkan urusan agama dengan dunia. Termasuk dalam konteks ini, zakat dibedakan dengan pajak. Warga negara—muslim—yang sudah mengeluarkan uangnya untuk zakat, masih harus membayar pajak kepada negara. Jadi, harus membayar dua kali lipat, satu kewajiban agama, satu lagi “paksaan” negara. Padahal, syariah-nya kalau sudah bayar zakat, maka bersihlah hartanya.

Hal ini berimplikasi serius, yaitu pada penyikapan terhadap uang itu. Jika zakat, pengelola dan distributornya, akan berhati-hati karena ada “nama Allah” di setiap keping rupiah itu. Maka peruntukannya juga sangat hati-hati, zakat adalah uang titipan Allah.

Sementara, kalau “hanya” uang pajak—sebagaimana yang terjadi selama ini—banyak orang berani korupsi. Karena, agaknya menurut mereka, uang pajak tidak dilekati “nama Allah”. Saat membayar, wajib pajak tidak harus membaca asma Allah dan nawaitu untuk agama, mereka hanya harus tandatangan di form tertentu. Ini membuat tidak ada nilai sakral dalam uang pajak.

Idealnya, perlu “membalut” seluruh uang yang dibayar wajib pajak dengan asma Allah. Kehadiran asma Allah dalam pembayaran setiap rupiah dari uang pajak akan menggugah ketakwaan—bukan sekedar ketakutan—pada nurani setiap aparat negara, baik pemungut mau pun pengelola. Mereka akan ekstra hati-hati, agar setiap rupiah dari uang pajak yang dikelolanya dapat dipertanggungawabkan “ke atas”, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dan “ke bawah”, yaitu kepada segenap rakyat yang membayar (muzakki) maupun yang berhak menerima manfaat (mustahiq).

Kedua, pembayar pajak banyak, lebih dilindungi. Menurut Masdar F Mas’udi, ada tiga persepsi tentang zakat, yaitu [1] pajak sebagai upeti (dlaribah), [2] pajak sebagai imbal jasa (jizyah) dan [3] pajak sebagai zakat, keadilan untuk semua. Agaknya, yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pajak dengan jenis pertama dan kedua. Warga membayar pajak atas “paksaan” negara—yang melabeli segala produk dan aktivitas warga dengan pajak, dan membayar pajak sebagai “imbal jasa” pengamanan.

Maka, yang terjadi sungguh menyesakkan dada. Pengusaha komprador dan mereka yang korupsi dan menggerogoti uang pajak dari rakyat—dengan cara yang “legal”—tetap akan dilindungi, karena secara legal, pajak mereka besar dan lancar. Sementara pedagang kaki lima atau pengusaha kecil yang tak mampu bayar pajak, tidak mendapat perlindungan memadai dari aparat, bahkan sering diusir-usir.

Rakyat kaya pembayar pajak besar berhak mendapatkan layanan dari negara lebih besar dibanding yang diterima pembayar pajak kecil. Pada saat yang sama, rakyat miskin papa yang tidak mampu membayar pajak sama sekali, secara normatif, tidak berhak menuntut apa-apa dari negara selain menunggu tetesan kedermawanan (tricle down effect) belaka dari para elitenya. Bayar mahal dilindungi, bayar sedikit terusir. Di manakah keadilan ini diletakkan?

Ketiga, harus diadakan sosialisasi untuk revolusi pemahaman akan pajak, yaitu membayar atas nama Allah. Dari sini akan muncul akibat, dari sudut rakyat pembayar (tax-payer), pajak akan dibayarkan dengan hati ikhlas sebagai kewajiban ilahiyah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Selain itu, gerutuan yang selama ini menyertai setiap momen pembayaran pajak dan membuatnya sebagai “uang panas dan kotor”, akan digantikan dengan keikhlasan beribadah yang akan mengubah status uang pajak menjadi halal dan penuh berkah.

Jika itu sudah terwujud, akan terjadi proses peralihan pada uang pajak yang dalam konsep upeti (dlaribah) atau imbal jasa (jizyah) merupakan uang penguasa, bergeser menjadi uang Allah untuk kepentingan segenap rakyat tanpa membedakan agama dan keyakinannya (Qs. at-Taubat: 60).

Implikasi Kontrol Anggaran Negara

Pengawasan zakat selama ini dilakukan oleh para ulama. Lebih banyak kontrol personal, zakat tidak diwajibkan oleh negara, warga muslim yang bayar zakat lebih banyak karena kesadaran individual. Pengontrolnya—misalnya jika muslim itu ikut jamaah pengajian—akan dilakukan oleh imam, kiai atau guru spiritualnya. Nah, dalam konteks ini, harus dilakukan perubahan paradigma secara mendasar, menggabungkan spirit zakat dalam pembayaran pajak. Implikasinya sebagai berikut:

Pertama, pajak sebagai panggilan iman dan kewajiban sosial, mengundang kesadaran segenap rakyat pembayar pajak (muzakki) maupun rakyat penerima (mustahiq) untuk mengontrol jalannya pemerintahan-negara sedemikian rupa, sehingga perilaku negara benar-benar sejalan dengan visi-misinya, sebagai instrumen penegak keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat—sesuai sila kelima Pancasila.

Kedua, mempertajam makna korupsi. Dalam negara dengan konsep “pajak-sedekah” atau socio-religious responsibility, korupsi didefinisikan lebih mendasar: bukan sekedar sebagai “penyelewengan uang negara di luar ketentuan formal anggaran.” tapi lebih dalam, yaitu “meskipun sesuai angka dan alokasi dalam anggaran, tetapi jika tidak memihak kepentingan rakyat, terutama yang kecil, itu pun termasuk korupsi.”

Kontekstualisasi

Sebetulnya, secara nominal, ketetapan zakat yang hanya 2,5 persen, pada zaman sekarang agak tidak masuk akal—jumlah itu sangat sedikit jika melihat kebutuhan distribusi silang-harta kaya kepada miskin. Betapa jumlah orang miskin di Nusantara ini sangat banyak. Mereka butuh kedermawanan.

Agaknya perlu dihitung kembali berapa persen tarif zakat itu dibayarkan. Objek pajak pada zaman Rasulullah yang disebutkan, misalnya adalah onta. Sekarang, tentu merek mobil seperti Lexus, Aston, Mercedes, harus mendapat tarif zakat-pajak lebih tinggi. Negara harus memulai hal ini, parlemen seharusnya menjadi lembaga ijtihad dan ijma’. Pemerintah hanya sebagai pemungut. Satu yang tidak boleh berubah, yaitu spirit keadilan.

Oleh karena itu saya menawarkan rumus kompromi, misalnya besar pajak 20 persen, yang 2,5 persen biarlah dikelola oleh ormas Islam, selebihnya oleh negara. Namun, yang 2,5 persen itu tetap bertanggungjawab terhadap negara agar kekuatan civil society tumbuh.

Berikutnya, perlu kontekstualisasi terhadap konsep delapan asnaf yang berhak mendapat zakat. Tawarannya, dalam konteks tasaruf (distribusi) pajak-zakat ini, bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu [1] pemberdayaan rakyat lemah (kaum fakir miskin, budak, orang-orang bangkrut, rehabilitasi sosial, pengungsi) sebagai prioritas utama; [2] biaya rutin pemerintahan sebagai Aparat Pelayan Publik (’amilin); [3] public good (sabilillah), baik infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan dan bangunan sekolah atau rumah sakit, maupun non-fisik seperti penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan, dan seni budaya.

Catatan Akhir atas Rencana Sentralisasi

Tentang usulan akan adanya sentralisasi pengelolaan zakat di bawah negara, harus didiskusikan secara mendalam. Semangat dasar zakat adalah filantropi (kedemawanan). Jika lembaga zakat dicangkokkan kepada negara, bisakah dijamin regulasi ini efektif?

Pertama, ada klausul tawaran dalam amandemen UU No 38 tahun 2009 itu, bahwa akan ada sanksi bagi pemungut zakat yang tidak “sah”. Mari kita lihat fakta lapangan, banyak masyarakat muslim—kebanyakan di desa—yang membayarkan zakat melalui kiai di pesantren atau guru majelis taklimnya. Mereka sudah percaya akan distribusi harta mereka. Apakah para kiai dan ustadz majelis taklim ini akan mendapat sanksi?

Maka, lebih dulu perlu diperjelas, sosialisasi akan dilakukan berapa lama. Kemudian, masa berlaku regulasi pemberian sanksi ini kapan. Jangan sampai terjadi penolakan dari masyarakat sendiri.

Kedua, jika benar regulasi ini berlaku, untuk operator, yaitu organisasi pengelola zakat, pemerintah tidak perlu membuat yang baru. Lembaga yang selama ini sudah mapan, misalnya RZI, PKPU, Dompet Dhuafa, YDSF dan sebagainya, lebih kapabel menjadi pengelola. Karena sudah bertahun-tahun mereka melakukan itu dan memiliki manajemen yang teruji.

EKONOMI ISLAM

PANDANGAN ISLAM TERHADAP KEMISKINAN (Analisis Pemikiran Abdul A'la Al- Maududi dan Yusuf Al- Qardawi PDF Cetak E-mail
Ditulis oleh Darusman   
Monday, 19 April 2010
ABSTRAK
"Seandainya Kemiskinan berwujud seorang manusia, niscaya aku
akan membunuhnya"
(Ali bin Abi Thalib)
Kutipan di atas pernah dibuat sebagai pembuka bab pertama buku Nabi Subhi
Al Thawil Al-Hirman wa al- Takhalluf fi Diyar al-Muslimin. Buku itu yang
sudah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia mengisahkan kemelaratan
kaum muslimin dengan data dan angka
Buku kecil ini diakhiri dengan
himbauan agar umat Islam bersama-sama memerangi kemiskinan, seperti tekad
Ali bin Abi Thalib.Yang menarik buat saya sekarang adalah kenyataan bahwa
pernyataan perang terhadap kemiskinan dikeluarkan oleh seorang sahabat yang
dianggap terkenal sederhana, bahkan ia terkenal dengan hidup sufi
.
A. Pendahuluan
Perhatian agama Islam terhadap masalah kemiskinan tersebut sangat besar. Dalam al-
Qur'an kata miskin dan masakin disebut sampai 25 kali, sementara faqir dan fuqoro sampai
14 kali (Muhammad Abdul Baqi'). Allah SWT berfirman "berikanlah makan kepada orang
yang lagi faqir" (QS. AL-Hajj, 22 : 8). Nabi Muhammad SAW sendiri berdo'a "aku
berlindung kepada-Mu dan kefakiran dan kekufuran ".(H.R Abu Daud). Mengapa demikian,
hadits lain menyebutkan bahwa kefakiran yang menimpa seseorang atau suatu bangsa
cenderung akan berperilaku kufur (Kadal Faqru An Yakuuna Kufran). Kufur disini tidak
hanya lawan dari iman, melainkan juga lawan dari syukur atas nikmat- nikmat yang
dianugrahkan Allah SWT. Menurut Yusuf Al-Qardawy
1
, akibat negatif dari kefakiran dan
kemiskinan itu bisa merusak aqidah, moral dan retaknya keluarga serta masyarakat dan
negara.
Dalam Islam ada dua Madzhab dalam menjelaskan tentang siapa sebenarnya yang
disebut miskin itu. Pertama, madzhab Hanafi dan Maliki yang berpendapat miskin itu adalah
"orang yang tidak mempunyai sesuatupun juga". Kedua, madzhab Hambali dan Syafi'i yang
menyatakan miskin itu adalah "orang yang mempunyai seperdua dari keperluannya atau lebih
tetapi tidak mencukupi". Dalam kehidupan kita, biasanya kata miskin dijadikan kata
majemuk dengan faqir
2
, sehingga menjadi faqir miskin yang artinya kurang lebih sama.
Menurut hemat penulis, faqir dapat disamakan dengan kemiskinan absoulut dan miskin
dengan kemiskinan relatif.
Hal ini terdapat beberapa pendirian terhadap masalah kemiskinan
3
. Pertama, pendirian
yang menyucikan kemiskinan. Bagi golongan ini kemiskinan bukan masalah yang harus
dipecahkan, tetapi harus dibiarkan, karena dengan demikian manusia manusia bisa
berkonsentrasi berhubungan dengan Tuhannya, tidak di ganggu dengan urusan duniawi.
Kedua, pendirian para fatalis yang menganggap bahwa kemiskinan itu merupakan taqdir
1Yusuf al-Qardhawy, Konsep Islam dalam Mengentaskan kemiskinan, (Surabaya : Bina Islam, 1996) hal. 12-17
2 Sulaiman Rasyid, Figh Islam (Jakarta: AT- Tahiriyah 1954) hal. 207-209
3 Yusuf al-Qardawy, Op,Cit,. Hal.1-10
________________________________________
Allah dan Manusia harus sabar dengan ujian itu. Ketiga, pendirian ketiga sama dengan fatalis,
namun mereka maju selangkah. Yaitu secara perorangan mereka harus membantu orang-
orang miskin. Madzhab ini dikenal sebagai "kebajikan Pribadi". Keempat, kaum kapitalis
memandang kemiskinan adalah menimbulkan problem yang harus diselesaikan dengan orang
miskin sendiri, sedangkan orang kaya bebas dalam mempergunakan hartanya. Kelima, Kaum
Marxis yang menyatakan bahwa kemiskinan itu bisa diatasi kalau kaum borjuis dan
kekayaannya tidak dimusnahkan, tetapi lalu ditata kelas-kelas baru.
Pendekatan kontemporer melihat bahwa penyebab kemiskinan bisa dilihat dari tiga teori
berikut ini
4
: Pertama, teori yang menekankan kepada pada nilai-nilai. Mereka miskin karena
mereka bodoh, malas, tidak ulet, tidak mempunyai prestasi, fatalistik. Kedua, teori yang
menekankan pada organisasi ekonomi masyarakat. Teori ini menganggap orang itu miskin
karena kurangnya peluang dan kesempatan untuk memperbaiki hidup mereka. Ketiga, teori
yang menekankan pada pembagian kekuasaan dalam struktur sosial dan tatanan masyarakat.
Tatanan dan struktur masyarakat yang ada dianggap sebagai hasil paksaan (bukan konsensus)
sekelompok kecil anggota masyarakat yang berkuasa dan kaya akan mayoritas warga
masyarakat miskin, dan inilah yang menjadi sebab kemiskinan.
Jalan keluar dari teori ini bermacam- macam pula. Bagi teori pertama caranya mereka
harus dicerdaskan, sedangkan bagi teori kedua caranya adalah perlu adanya industrialisasi
agar ada tetesan kebawah. Bagi teori ketiganya yang di perlukan adalah perombakan struktur.
Dilihat dari beberapa teori tersebut ada beberapa pendekatan dalam memahami kemiskinan
dan penyebab yang dapat disederhanakan, yaitu sebab kultural yang dilatari oleh teori
kapitalisme dan sebab struktural yang dilatari oleh oleh teori markisual. Namun masih ada
sebab lain yang tidak boleh dilupakan yaitu peristiwa-peristiwa alam dan lain sebagainya.
Dalam penulisan ini yang ingin penulis ungkapkan adalah alur pemikiran kedua tokoh
muslim, seperti Abul A'la al- Maududi dan Yusuf al- Qardawy di bawah ini.
B. Pemikiran Abul A'la al- Maududi
Menurut Al- Maududi, untuk mengatasi kemiskinan, maka yang akan digunakan dan
diterapkan adalah sistem ekonomi Islam dengan karakteristik sebagai berikut
2
:
1. Berusaha dan bekjerja dengan mengindahkan yang halal dan haram tidak membenarkan
bagi para pemeluknya untuk mencari kekayaan semau mereka dengan jalan apa saja yang
mereka kehendaki. Namun dalam Islam dijelaskan perbedaan antara jalan yang sah dan
jalan yang tidak sah menurut agama. Perinsip ini juga diterapkan oleh Allah SWT dalam
firman-Nya :
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, sekali-kali jangan kamu makan harta
sesamamu dengan jalan yang tidak sah, kecuali dengan jalan perniagaan
yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu. Dan
barang siapa berbuat demikian dengan melanggar hal yang aniaya, maka
kelak memasukkannya kedalam neraka". (Q.S. an- Nisa': 29-30).
Ayat ini terdapat dua ketetapan sebagai syarat bagi syahnya perdagangan. Pertama,
hendaklah perdagangan itu dilakukan suka sama suka di antara kedua belah pihak.Kedua,
hendaklah keuntungan satu pihak, tidak berdiri diatas dasar kerugian pihak lain.
4Jhon Kenneth, Hakekat kemiskinan Massa, Jakarta : Sinar Harapan, hal. 25-26
2Abu A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi dalam Islamdan Berbagai Sistem masa Kini, Bandung: Al-Ma'arif, 1980,
hal. 116-137
________________________________________
2. Larangan Menumpuk Harta
Yang kedua, ialah seyoganya orang tidak mengumpulkan harta yang meskipun di
dapatnya dengan jalan sah, karena akan menghambat perputaran (distribusi) kekayaan
dan merusak keseimbvangan serta pembagiannya dikalangan masyarakat. Orang yang
mengumpulkan harta dan tidak membelanjakannya, tidak hanya mencampakkan dirinya
kedalam penyakit moral saja, tetapi juga melakukan sesuatu kejahatan besar terhadap
masyarakat banyak, di mana mudlarat dan keburukannya akan kembali menimpa dirinya
sendiri juga. Oleh sebab itu Islam memerangi kebathilan, sebagaimana firman Allah SWT
dalam QS. Ali Imran (3) : 18 yang artinya :" sekali-kali jangan lah orang-orang yang
bathil dengan harta yang dikaruniakan allah, mereka menyangka, bahwa kebathilan itu
baik bagi mereka, bahkan kebathilan itu adalah buruk bagi mereka".
Membelanjakan harta di Jalan Allah Pada sisi lain, Islam menyuruh kepada
ummatnya untuk membelanjakan harta, meski Islam juga melarang untuk bersikap boros.
Namun dengan perintah ini bukan berarti ada legitimasi bagi ummat Islam untuk
membelanjakan harta dengan royal dan boros, apalagi tujuan pengeluaran itu hanya untuk
pemenuhi kepuasan hawa nafsu belaka (hedonisme). Maksud diperintahkannya
membelanjakan harta yaitu membelanjakan harta dengan disertai syarat fi sabilillah, di
jalan allah. Hal ini sesuai dengan QS. Al- baqarah (2) : 219
Artinya : "dan mereka bertanya kepadamu, apa yang mereka belanjakan ? katakanlah,
yang lebih dari keperluan".
Dan Allah juga berfirman dalam QS. An- Nisa' (4) : 36.
Artinya : "Sembahlah olehmu akan Allah, janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatu. Dan berbuat baiklah kepada keduia ibu bapak, karib kerabat, anak
yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh,
teman sejawat, orang-orang musafir dan hamba sahayamu".
Ayat-ayat diatas memberi pelajaran bagi kita, sesungguhnya sangkaan-sangkaan
kapitalis yang mengatakan bahwa apabila ia mengeluarkan hartanya di jalan kebaikan,
maka ia akan jatuh miskin dan apabila dikumpulkan hartanya, maka ia akan menjadi
kaya, sedang Islam berkata :"sesungguhnya Allah memberikan harta seorang apabila
dibelanjakannya dijalan kebajikan dan melipatgandakannya".
Seorang kapitalis menyangka bahwa semua harta yang dikeluarkan dijalan kebajikan
telah hilang dan tak akan kembali lagi. Namun Islam membantah, bahwa harta yang
dibelanjakan dijalan kebajikan itu tidak akan hilang, dan akan kembali kepada yang yang
memilikinya dengan sejumlah keuntungan yang besar di hari kemudian. Allah berfirman
dalam QS. Fathir : 20-30 :
Artinya : "Dan mereka membelanjakan hartanya dari rizki yang kami anugerahkan
kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan. Mereka mengharapkan
perniagaan yang tidak akan merugi, karena allah akan menyempurnakan
kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-
Nya".
3. Zakat
________________________________________
Yang di kehendaki dalam Islam pada hakekatnya supaya kekayaan tidak dibiarkan
berkumpul di salah satu tempat dalam masyarakat. Tidak selayaknya bagi orang-orang
yang memperoleh kekayaan karena kebetulan nasib mereka baik atau karena kecakapan
dan kecerdasan mereka, akan menyimpan dan tidak membelanjakan di jalan kebajikan.
Namun wajib bagi mereka membelanjakan dijalan yang memungkinkan bagi mereka
yang tidak mempunyai nasib baik, akan memperoleh bagian yang cukup dari kekayaan
masyarakat dalam distribisinya.
Untuk merealisasikan tujuan inilah Islam menciptakan sifat kedermawaan, murah
hati dan kerja sama (Kooperasi) yang sejati dalam lapangan sosial dengan ajaran ^ ajaran
moralnya yang tinggi, dengan jalan bujukan dan ancaman yang efektif, hingga dengan
kecendrungan alamiahnya manusia merasa jijik untuk mengumpulkan kekayaan dan
menyimpannya, dan engan gemar membelanjakannya dengan sendiri.
Pada sisi lain Islam membuat suatu perundang-undangan yang mewajibkan
pemungutan suatu jumlah yang tertentu dari kekayaan orang bnayak untuk kesejahteraan
masyarakat dan kebahagiaannya. Jumlah yang tertentu dari kekayaan orang banyak ini
dinamakan dengan "zakat". Al-Qur'an sendiri menegaskan barang siapa menyimpan
kekayaan, tidaklah halal baginya sebelum dikeluarkan zakat. Untuk lebih jelasnya Allah
SWT berfirman dalam QS. At- Taubah :1-3 :
Artinya : ”Ambillah sedekah dari harta mereka, dengan sedekah itu kamu membersihkan
dan mensucikan mereka".
Kata zakat itu menunjukkan bahwa kekayaan yang dikumpulkan manusia itu
mengandung najis dan kotor, tidak mungkin ia menjadi suci sebelum dikeluarkan 2,5 %
dalam setiap tahunnya untuk para sabilillah. Tentang siapa yang berhak mendapat zakat.
Allah berfirman dalam QS. At- Taubah : 60 :
Artinya : "sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fkir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang sedang dibujuk hatinya,
untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan allah
dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan".
4. Hukum Waris
Islam maju selangkah lagi untuk membagi-bagikan kekayaan yang mungkin masih
tinggal terkumpul di suatu tempat, hingga sesudah pengeluarannya untuk keperluan
pribadi, untuk infaq di jalan Allah dan untuk menunaikan zakat. Yang demikian itu
adalah dengan melaksanakan hukumnya mengenai waris.
Yang dikehe ndaki dalam Islam dengan hukum ini, adalah barang siapa meninggalkan
harta, banyak atau sedikit, sebaiknya harta itu dibagi-bagikan kepada kerabat karibnya.
Dan barang siapa yang tidak mempunyai ahli waris yang mewarisinya, tidaklah
seyogyanya hak itu diberikan kepada anak angkat, namun semua hartanya harus
diserahkan kepada Baitul mal kaum muslimin supaya dapat dinikmati manfaatnya oleh
seluruh umat Islam.
Hukum waris itu tidak ada bandingnya dalam suatu sistem ekonomi yang lain, karena
dikehendaki oleh sistem-sistem itu adalah supaya kekayaan yang dikumpulkan oleh satu
orang harus tetap terkumpul ditangan satu orang atau beberapa orang yang terbatas
jumlahnya sesudahnya juga. Tetapi Islam hendak membagi-bagikan dan meratakannya,
hingga distribusi atau peredaran harta itu dikalangan masyarakat ramai menjadi mudah
dan lancar.
________________________________________
5. Ghanimah
Islam telah memerintahkan, supaya yang dapat dirampas oleh muslimin di medan
perang dibagi menjadi lima bagian, empat bagian buat mereka yang ikut dalam
peperangan dan sebagian untuk kepentingan sosial kaum muslimin. Dalam hal ini allah
berfirman dalam QS. Al- Anfal : 41 :
Artinya :"Ketahuilah, apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlimanya untuk allah, Rasul, kerabat rasul, anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil".
Tafsir dari kata-kata sebagian untuk Allah dan Rasul-Nya adalah sebagian yang di
khususkan untuk tujuan-tujuan dan kepentingan- kepentingan sosial, yang diurus dan
diawasi oleh pemerintah dalam negara Islam menurut hukum Allah dan Rasulullah SAW.
Sedang untuk kerabat Rasul adalah sebagian dari seperlima ini, karena mereka tidak
mempunyai bagian dari zakat kaum muslimin dan sedekah mereka. Kemudian ia
menerangkan bagian dari tiga golongan dari seperlima ini secara khusus :
1. Anak ^ anak yatim, untuk keperluan memberi pengajaran dan pendidikan kepada
mereka, supaya dapat memiliki syarat-syarat keahlian untuk turut mengambil bagian
dalam kompetisi di dunia ini.
2. orang-orang miskin yaitu orang yang berkekurangan yang tidak dapat memperoleh
apa yang menjadi kebutuhan mereka dan tempat kediaman mereka. Juga turut
menyertai mereka dalam bagian ini janda-janda kaum muslimin, orang-orang yang
lemah dan orang sakit.
3. Ibnu sabil yaitu orang-orang yang dalam perjalanan. Islam memberikan perhatian
secara serius untuk menumbuhkan kecendrungan dikalangan kaum muslimun untuk
menghormati musafir dan menjamunya dengan sebaik-baiknya. Di samping itu juga
menyediakan sebnagian hartanya untuk musyafir dan harta itu dari zakat yang telah
dikeluarkan, sedekah, dan harta rampasan perang.
Adapun aturan tentang harta rampasan Allah sudah menjelaskan dalam QS. Al-Hasyr;
7-8 yang berbunyi:
Artinya : "Harta rampasan (fai') yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota adalah untuk Allah, untuk Rasul, karib kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang dalam perjalanan, supaya harta
itu jangan beredar diantara orangt-orang kaya saja dari pada kamu….(karib
kerabat yang mendapat rampasan itu) adalah : orang-orang fakir yang berhijrah,
yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena)
mencari dari karunia Allah dan keridhaan-Nya, dan mereka mendapat
pertolongan Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar."
Ayat ini tidak hanya menjelaskan pos-pos kemana harta rampasan perang (fai') itu
dibagikan, namun juga menjelaskan dengan isyarat yang jelas mengenai tujuan yang
senantiasa diingatkan oleh Islam, bukan hanya dalam pembagian harta rampasan saja,
tetapi juga dalam sistem ekonominya yang menyeluruh, yaitu : supaya harta itu jangn
sampai beredar di sekitar orang-orang kaya saja.
6. Hemat
Islam memperhatikan dan mengawasi perputaran kekayaan pada seluruh
masyarakat, dan ditentukannya satu bagian dari harta orang-orang kaya untuk diberikan
kepada fakir dan miskin pada satu sisi, dan pada sisi lain diperintahkannya kepada tiap-
tiap individu dalam mengeluarkan hartanya (pembelanjaan), hingga keseimbangan dalam
pembagian kekayaan tidak terganggu karena kelalaian dan keterlaluan individu-individu
dalam mempergunakan kekayaan mereka. Dalam hal ini Allah SWT berfirman dalam QS.
Al- Furqan :67 yang artinya :"Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) tidak
berlebih-lebihan, dan tidak pula kikir, tetapi adalah (pembelanjaan) itu di tengah-tengah
antara yang demikian".
Dalam hal ini, Islam tidak menghendaki seyogyanya orang membelanjakan harta
kecuali dalam lingkungan batas-batas kemampuan ekonominya. Tidak dihalalkan baginya
melampaui batas, hingga pengeluarannya lebih besar dari pada pendapatannya, kemudian
ia terpaksa menjadi seorang pengemis dan perampas harta orang lain, atau berhutang
kepada orang lain tanpa ada keperluan yang sesungguhnya kemudian tidak membayarnya
kepadanya, atau menjual semua alat-alat dan perabot rumah tangga yang dimilikinya
untuk membayar hutangnya, dan memasukkan dirinya kedalam golongan orang fakir-
miskin karena perbuatannya sendiri.
Artinya mengeluarkan atau membelanjakan dalam lingkungan batas-batas
kemampuan adalah jika seseorang mempunyai penghasilan yang besar, ia boleh
membelanjakan semaunya secara boros dan mewah, bersenag-senang dan berfoya-foya
sepanjang hidupnya. Namun karib kerabatnya, teman sejawatnya, dan tetangganya yang
ada di sekelilingnya melewatkan hari-hari sepanjang hidupnya dalam keadaan lapar,
miskin, dan sengsara. Mereka hampir-hampir tidak dapat memperoleh suatu yang dapat
dipergunakan mereka untuk mempertahankan kelanjutan hidup mereka. Pembelanjaan
yang semata-mata didorong oleh seperti dipandang oleh Islam ebagai suatu tindak
melakukan pemborosan.
C. Pemikiran Yusuf Al- Qardawy
Islam menyatakan perang dengan kemiskinan, dari berusaha keras membendungnya,
serta mengawasi berbagai kemungkinan yang dapat menimbulkannya, guna menyelamatkan
aqidah, akhlak dan perbuatan memelihara kehidupan rumah tangga, dan melindungi
kesetabilan serta ketentraman masyarakat. Di samping itu untuk mewujudkan jiwa
persaudaraan antara sesama anggota masyarakat.
Demikian juga dengan apa yang dikemukakan oleh Yusuf al- Qordawy, bahwa
kemiskinan ini bisa terentaskan kalau setiap individu mencapai taraf hidup yang layak
didalam masyarakat. Dan untuk mencapai taraf hidup yang diidealkan itu islam memberikan
kontribusi berbagai cara dengan jalan sebagai berikut.
3
1. Bekerja
Setiap orang yang hidup dalam masyarakat Islam, diharuskan bekerja dan
diperhatikan berkelana dipermukaan bumi ini. Serta diperintahkan makan dari rizki Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Mulk : 15 :
Artinya : "Dialah yang menjadikan bumi itu rumah bagimu, maka berjalanlah disegala
penjurunya dan makanlah sebagian rizki-Nya".
3 Yusuf al-Qardawy , Loc, Cit, hal. 151-209
________________________________________
Bekerja merupakan suatu yang utama untuk memerangi kemiskinan, modal pokok
untuk menvapai kekayaan, dan faktor dominan dalam menciptakan kemakmuran dunia.
Dalam tugas ini, Allah telah memilih manusia unbtuk mengelola bumi, sebagaimana yang
telah dinyatakan oleh Allah, bahwa hal itu pernah diajarkan oleh Nabi Saleh a.s kepada
kaumnya, QS. Hud: 61:
Artinya : "Wahai Kaumku ! sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu tuhan,
melainkan dia. Dia telah menciptakan kamu dari tanah (liat) dan menjadikan
kamu sebagai pemakmurmu".
2. Mencukupi keluarga yang lemah
Sudah menjadi dasar pokok dalam syari'at Islam, bahwa setiap individu harus harus
memerangi kemiskinan dengan mempergunakan senjatanya, yaitu dengan bekerja dan
berusaha. Di balik itu, apa dosa orang-orang lemah yang tidak mampu bekerja? Apa dosa
para janda yang ditinggal para suaminya dalam keadaan tidak berharta? Apa dosa anak-
anak yang masih kecil dan orang tuanya yang sudah lanjut usia? Apa dosa orang cacat
selamanya, sakit dan lumpuh? sehingga mereka semua kehilangan pekerjaannya? apakah
mereka dibiarkan begitu saja karena bencana tengah melanda dan menimpa mereka,
sehingga mereka terlantar dalam kehidupan yang tidak menentu?
Melihat realitas di atas Islam tidak menutup mata, namun Islam justru mengentaskan
mereka dari lembah kemiskinan dan kemelaratan, serta menghindari mereka dari
perbuatan rendah dan hina, seperti mengemis dfan meminta-minta. Pertama-tama konsep
yang yang dikemukakan untuk menanggulangi hal itu adalah adanya jaminan antara
anggota suatu rumpun keluarga, Islam telah menjadikan antara anggota keluarga saling
menjamin dan mencukupi. Sebagian meringankan penderitaan anggota yang lain. Yang
kuat membantu yang lemah, yang kaya menvukupi yang miskin, yang mampu
memperkuat yang tidak mampu, karena itu hubungan yang mengikat mereka. Faktor
kasih sayang, cinta mencintai, dan saling membantu adalah ikatan serumpun kerabat.
Demikinlah sebenarnya hakekat hubungan alami. Hal ini telah didukung oleh kebenaran
syari'at Islam, sebagaimana yang disebutkan dalm QS. Al- Anfal: 75:
Artinya: "Dan anggota keluarga, sebagiannya lebih berhak terhadap anggota keluarga
yang lain, menurut kitab Allah".
3. Zakat
Islam mewajibkan setiap orang sehat dan kuat, untuk bekerja dan berusaha mencapai
rizki Allah, guna menccukupi dirinya dan keluarganya, sehingga sanggup mendermakan
hartanya di jalan Allah. Bagi orang yang tidak mampu berusaha dan tidak sanggup
bekerja, serta tidak mempunyai harta warisan atau simpanan guna mencukupi kebutuhan
hidupnya, ia berhak mendapatkan jaminan dari keluarganya yang mampu. Keluarga yang
mampu tadi berkewajiban memberikan bantuan serta bertanggung jawab terhadap nasib
keluarga yang miskin.
Namun demikian, tidak semua fakir miskin mempunyai keluarga yang mampu dan
sanggup memberi bantuan. Apakah kiranya yang akan dibuat oleh fakir miskin yang
malang itu? Apakah mereka dibiarkan begitu saja, hidup dibawah tekanan kemelaratan
dan ancaman kelaparan, sedangkan masyarakat disekitarnya yang didalamnya terdapat
orang-orang kaya, hanya menyaksikan penderitaan mereka?.
________________________________________
Islam tidak akan membiarkan begitu saja nasib fakir miskin yang terlantar.
Sesungguhnya allah SWT telah menetapkan bagi mereka suatu hak tertentu di dalam
harta orang-orang kaya, dan suatu bagian yang tetap dan pasti, yaitu zakat. Sasaran utama
bagi zakat itu adalah untuk mencukupi kebutuhan orang-orang miskin.
Di samping zakat juga masih ada hak-hak material lain, yang wajib di penuhi oleh
orang Islam, karena berbagai sebab dan hubungan. Kesemuanya itu merupakan
sumberdana bantuan bagi orang-orang fakir dan miskin merupakan kekuatan untuk
mengusir kemiskinan dari tubuh masyarakat Islam. Hak- hak tersebut diantaranya adalah :
a. Hak bertetangga
b. Korban Hari Raya Haji
c. Melanggar Sumpah
d. Kafarah sumpah
e. Kafarah Dihar
f. Kafarah
g. Fidyah bagi yang lanjut usia
h. Al- Hadyu (pelanggaran dalam ibadah haji)
i. Hak tanaman pada saat mengentan
j. Hak mencukupi fakir miskin.
4. Al-Khizanah al-Islamiyah (sumber Material dalam Islam atau Baitul Mal)
Apabila dalam distribisi kekayaan yang diambil dari zakat untuk para fakir miskin
tidak mencukupi, maka dapat diambil dari persediaan dari sumber material yang lain.
Sumber material yang dimaksud adalah Khizanah al- Islamiyah.
Sumber-sumber material dalam Islam disini meliputi hak milik negara dan kekayaan
^ kekayaan umum, yang dikelola dan diurus oleh pemerintah, baik yang digarap
langsaung maupun yang dikerjakan bersama, seperti harta wakaf, sumbner kekayaan
alam, dan barang tambang yang ditetapkan dalam Islam.
Sebagian besar ahli fiqih Islam sangat berhati-hati dalam menyelamatkan hak fakir
miskin dalam hubungannya dengan harta zakat. Karena itu, mereka tidak membolehkan
harta zakat itu seluruhnya atau sebagian dipergunakan untuk kepentingan umum.
Misalnya, untuk pembiayaan angkatan perang atau keperluan-keperluan lainnya yang
serupa, meski pada saat itu kas anggaran belanja induk mengalami minus. Sedangkan kas
anggaran belanja zakat dalam keadaan surplus. Kecuali dengan jalan pinjaman atas nama
kas anggaran belanja induk, yang nantinya setelah kas anggaran belanja iru surplus
kembali, pinjaman itu harus dikembalikan kepada kas anggaran belanja zakat.
Kekayaan itu harus dipegang dan dikuasai oleh pemerintah agar seluruh rakyat bisa
menikmati manfaatnya. Segala sesuatu yang merupakan pemasukan Khizanah al-
Islamiyah merupakan sumber bantuan bagi orang-orang miskin, manakala pemasukan dan
zakat tidak mencukupi para fakir miskin. Khizanah al-islamiyah ini sangat penting
keberadaannya karena, ketika di antara kaum muslimin orang-orang fakir dan miskin
membutuhkan bantuan, sedangkan kas sedekah (zakat) mengalami kekosongan. Dalam
hal ini seorang imam (kepala negara) boleh mengambil uang khas harta pajak untuk
memenuhi kebutuhan mereka tersebut. Pinjaman itu tidak perlu dinyatakan sebagai
pinjaman yang harus dibayar oleh khas sedekah.
Dari baitul mal ini sesungguhnya merupakan persediaan paling terakhir setiap orang
fakir dan orang-orang yang berkekurangan. Karena itu baitul mal milik semua orang,
bukan milik seorang amir (pimpinan/kepala negara) atau kelompok orang-orang tertentu.
________________________________________
5. Shodaqoh
Islam juga berusaha membentuk pribadi yang luhur, dermawan, dan murah hati.
Pribadi yang luhur adalah insan yang suka memberikan lebih dari apa yang diminta, suka
mendermakan lebih dari apa yang diwajibkan. Ia suka memberikan sesuatu, kendati tidak
diminta dan tidak dituntu terlebih dahulu. Ia suka berderma (memberi infaq) dikala siang
maupun malam.
Sebab itulah, telah turun sejumlah al-qur'an yang agung dan hadits Rasulullah yang
mulia sebagai pembawa berita gembira dan penyampaian ancaman siksa, pembangkit dan
penggerak gairah kerja, pendorong kearah ikhlas, berjuang, dan berderma serta pencegah
sikap-sikap kikir dan bakhil. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. Al-baqarah (2):
245:
Artinya: "Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah dengan satu pinjaman yang
baik, ia akan mengadakan (pembayaran) itu dengan berlipat ganda. Sebab, Allah-
lah yang menyempitkan dan meluakan rizki, dan kepadanyalah kalian
dikendalikan".
Allah berfirman dalam QS. Al-Insan: 8- 10, yang berbunyi;
Artinya : "Dan mereka memberi makanan yang diseganinya, kepada orang-orang miskin,
dan anak-anak yatim, dan orang tawanan. Sesungguhnya kami tidak memberi
makanan kepada kamu melainkan karena Allah, kami tidak mengharap dari kamu
balasan dan ucapan terimakasih. Sesungguhnya kami takit akan adzab Tuhan
kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang yang bermuka masam penuh
kesulitan".
D. Penutup
Al-Qur'an telah menekankan pesan beberapa kali bahwa kaum muslimin tidak menahan
kekayaan dan pendapatan mereka hanya untuk diri mereka sendiri. Melainkan setelah
memenuhi kebutuhan mereka mencukupinya, mereka harus melaksanakan kewajiban
terhadap keluarga dekat mereka, para tetangga, serta orang-orang lain yang membutuhkan
pertolongan di dalam komunitas tersebut, dan orang-orang yang mempunyai kekayaan cukup
diwajibkan untuk memperhatikan kepentingan-kepentingan para fakir miskin.
Tindakan yang dimaksudkan oleh Islam itu adala, Pertama, Tindakan positif yang
dipakai untuk mencegah pemusatan kekayaan dan membantu menyebarkan di dalam
masyarakat, misalnya, menyebarkan zakat kedalam masyarakat serta hukum waris. Tujuan
tindakan ini adalah untuk memenuhi jumlah minimum hak-hak masyarakat yang dituntut
kemi kemaslahatan masyarakat. Dengan kata lain, upaya itu untuk membina dan
mempertahankan keadilan sosial di dalam kontinuitas masyarakat. Kedua, tindakan-tindakan
pelarangan yang dipergunakan untuk mencegah timbulnya praktik-praktik yang tidak sehat,
penumpukan harta, pengeluaran yang sia-sia dan lain sebagainya.
Untuk mencapai cita-cita keadilan ekonomi dalam masyarakat sebagai mana di
sebutkan di atas, Islam mempersembahkan cita-cita yang sangat tinggi pada individu agar
tidak terjerumus pada level yang lemah menjadi "hewan Ekonomi" dimana hidupnya hanya
untuk makan, dan dimana perutnya merupakan awal dan akhir dari seluruh aktivitas
ekonominya. Padahal seharus-nya merasa bahawa makan adalah untuk sekedar hidup dan
hidup adalah untuk mencapai cita-cita yang lebih mulia.
________________________________________
Dengan demikian, Islam merupakan alternatif dalam pemecahan masalah kemiskinan,
berbeda dengan feodalisme yang hany menikmati kesejahteraan melalui keringat orang lain,
berbeda pula dengan kapitalisme yang membenarkan sistem riba, berbeda pula dengan
sosialisme yang tidak membenarkan hak waris. Disini Islam mempunyai konsep sosial bagi
mereka yang mempunyai kekayaan berlebih melalui zakat dan sebagainya.
Daftar Pustaka
Abu A'la al-Maududi, Dasar dasar ekonomi dalam Islamdan Berbagai Sistem masa Kini,
Bandung: Al-Ma,arif. 1980.
Jhon Kenneth, Hakekat Kemiskinan Masa, Jakarta Sinar harapan. 1980
Sulaiman Rasid, Fiqh Islam, Jakarta : at-Tahiriyah, 1954
Yusuf al-Qardhawy, Konsep Islam dalam Mengentaskan kemiskinan, Surabaya : BinaIslam,
1996

EKONOMI ISLAM (history)

EKONOMI MONETER : TINJAUAN SEJARAH EKONOMI ISLAM PDF Cetak E-mail
 
fA. PENDAHULUAN
Dalam Sistem Ekonomi Konvensional, salah satu bidang yang dipelajari adalah ekonomi moneter, yang lebih identik dengan ilmu ekonomi uang dan bank. Hal ini dikarenakan uang dan bank merupakan variabel pokok yang dipelajari, sedangkan variabel yang lain hanya merupakan turunan dan alat kebijakan ekonomi moneter, misalnya, inflasi, jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, kecepatan peredaran uang, pemberian kredit dan sumber dana perbankan, suku bunga, dan sebagainya.


Sedangkan ekonomi moneter dalam Sistem Ekonomi Islam tidak jauh berbeda masalah yang dikaji. Namun ada hal yang tidak ada dalam ekonomi konvensional, terutama yang berhubungan dengan nilai dan norma yang berhubungan dengan prilaku ekonomi. Di bawah ini berturut hanya membahas tiga (3) komponen yang sangat berpengaruh terhadap ekonomi moneter dan ekonomi pada umumnya, yaitu sebagai berikut:

1. MATA UANG
Perkembangan ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti : emas, perak, dan tembaga. Adanya perdagangan menimbulkan kebutuhan akan adanya mata uang. Misalnya, orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari manakah dia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan dalam pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal barang-barang itu tidak sama harga atau nilainya. Oleh karena itu, disinilah pentingnya alat tukar yang bernama mata uang itu. Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), bahwa sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan
mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Yunani BON.
Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi. Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara. Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW. Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persi dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri. Oleh karena itu, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sednagkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya. Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama. Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai. Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi. Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri.
Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank.

2. INFLASI
Menurut Ackley (1978) bahwa yang dimaksud dengan inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang-barang dan jasa-jasa secara umum –bukan satu macam barang saja dan sesaat-.Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan tentunya) ke Mesir. Dan juga negara Jerman mengalam hyper inflation pada awal tahun 1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunya. Negara Indonesia juga tidak luput dari penyakit hyper inflation di tahun 1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650 persen.
Sedangkan dalam sejarah ekonomi Islam, banyaknya peredaran mata uang, terutama fluktuasi harga perak menyebabkan nilai mata uang Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain. Perbandingan antara dua mata uang logam itu adalah 10 pada zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap stabil pada level itu selam periode keempat khalifah pertama (11-41 H/632-661 M). Namun, stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai kondisi permintaan dan penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Umpamanya pada paro kedua periode Umayyah (41-132 H/661-750 M), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami fluktuasi dan berkali-kali mengalami kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30, bahkan 50. Menurut Al-Maqrizi dan Al-Asad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk menendang dari sirkulasi mata uang logam baik.
Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau agar negara menghindari dan tidak mencetak mata uang yang berlebihan dalam upayanya menutup defisit anggaran negara karena akan berakibat pada inflasi. Menurut Ibnu Khaldun, dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Apabila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di satu kota, harga makanan menjadi murah dan apabila lebih sedikit makanan dari yang diperlukan maka harga makanan menjadi mahal sehingga inflasi sebagai kenaikan harga-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan terjadi karena passer akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya maka harga akan turun kembali. Ini yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik. Umar saat itu mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah dan selanjutnya harga gandum turun.

3. BANK
Bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca, yang berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang di pasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara di dalam lalu
lintas perekonomian.

Praktek perbankan dalam Islam dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang sehingga diperlukan keahlian khusus untuk membedakan antara mata uang yang satu dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai akibat adanya perdagangan/pasar internasional, terutama kota yang terkenal adalah kota Isfahan (di Persia), yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari Timur dan Barat dan memperjualbelikan barang dagangan mereka. Nasher Khusru (w. 481 H/1088 M) mengatakan bahwa dalam pasar kota Isfaham, ada suatu stand khusus untuk perbankan, yang sekurang-kurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli bank dari berbagai bangsa. Dan menurut Ibnul Faqien bahwa pada umumnya para bankir itu
datang dari Basrah (Irak), yang membuka pekerjaan perbankan, menampung para pedagang yang datang dari ujung Timur daerah Islam sampai ke ujung Barat, yaitu Ferghanah (di perbatasan Irak) sampai daerah Sous di Asia Kecil.

Menurut Imam Al-Ghazali bahwa perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang ke daerah-daerah lain. Namun memperingatkan supaya para bankir dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhati-hati terhadap dosa riba. Imam Al-Ghazali menitik beratkan pandangannya terhadap institusi perbankan dari sudut transaksi perekonomian, baik antara pribadi dengan pribadi, lembaga dengan pribadi, lembaga bank dengan lembaga lainnya, negara dengan negara, serta lembaga bank dengan negara, yang semuanya itu lebih dekat hubungannya dengan dunia perdagangan (jual beli).

B. PENUTUP
Berdasarkan paparan di atas maka sudah jelaslah bahwasannya ekonomi moneter dalam sistem ekonomi Islam sudah dikaji, meskipun istilah “ekonomi moneter” sendiri berasal dari ekonom konvensional. Untuk lebih memahami lebih lanjut sejarah dari sistem ekonomi Islam dan sistem ekonomi konvensional dapat dibaca dan dipelajari buku-bukunya baik karangan ekonom dalam negeri maupun luar negeri yang sudah banyak beredar di Indonesia.

Friday 7 May 2010

KENDALA PENGEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA



A. Pendahuluan
Dewasa ini masih banyak kalangan yang melihat Islam secara parsial dimana Islam hanya diwujudkan dalam bentuk ritualisme ibadah semata dan menganggap bahwa Islam tidak ada kaitannya dengan dunia perbankan, pasar modal, asuransi, transaksi eksport import, dll. Bahkan mereka beranggapan bahwa Islam dengan sistem nilai dan tatanan normatifnya sebagai penghambat perekonomian suatu bangsa, sebaliknya kegiatan ekonomi dan keuangan akan semakin meningkat dan berkembang bila dibebaskan dari nilai-nilai normatif dan ketentuan Ilahi.

Cara pandang di atas bisa dikatakan sempit dan belum melihat Islam secara “kaffah”. Islam adalah agama yang universal, bagi mereka yang dapat memahami dan melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan total akan sadar bahwa sistem perekonomian akan tumbuh dan berkembang dengan baik bila didasari oleh nilai-nilai dan prinsip syari’ah Islam, dalam penerapannya pada segenap aspek kehidupan bisnis dan transaksi ummat.

Sistem Perekonomian Islam bersifat universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits merupakan landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan ummat, khususnya di bidang ekonomi antara lain:
- Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya : 107).
- Harta adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus sesuai dengan ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
- Larangan menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
- Larangan merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
- Kesaksian dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.

Anggapan tersebut telah terbukti dengan adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan dibanggakan selama ini khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan mengatasi kondisi yangada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional perbankan dan lembaga keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya “perampok berdasi” yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri. Sebaliknya bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan Islam yang dalam operasionalnya bersendi pada Syari’ah Islam, krisis ekonomi dan moneter yang terjadi merupakan moment positif dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti secara nyata dan jelas kepada dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang berlandaskan Syari’ah Islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan.

Dengan bukti di atas, sudah saatnya bagi para penguasa negara, alim ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membuka mata dan merubah cara pandang yang ada bahwa Sistem Perbankan Syari’ah merupakan alternatif yang cocok untuk ditumbuh kembangkan dalam dunia perbankan Indonesia dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia terkesan lambat dan kurang dikelola secara serius, terbukti dari data yang diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000 jumlah BPR Konvensional yang ada di Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%), dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1 kurang sehat.

Kurang berkembangnya Sistem Perekonomian Islam, khususnya Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam sendiri. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi Islam ataupun tidak menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang merasa takut menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268 dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui".
Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.

Dalam makalah ini penulis lebih memfokuskan pada perkembangan Perbankan Syari’ah sebagai sub unit financial yang merupakan bagian dari sub sistem ekonomi ditinjau dari mitos dan kenyataan yang terjadi dalam prakteknya, serta peranan Perguruan Tinggi sebagai sub sistem pendidikan dalam kaitannya dengan sub sistem ekonomi.

B. Kendala Perbankan Syariah
Banyak tantangan dan permasalahan yang dihadapi dalam perkembangan Bank Syari’ah, terutama berkaitan dengan penerapan suatu sistem perbankan yang baru yang mempunyai sejumlah perbedaan prinsip dari sistem keuntungan yang dominan dan telah berkembang pesat di Indonesia. Permasalahan ini dapat berupa permasalahan yang bersifat operasional perbankan maupun aspek dari lingkungan makro. Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan Bank Syari’ah antara lain :

1.Permodalan
Permasalahan pokok yang senantiasa dihadapi dalam pendirian suatu usaha adalah permodalan. Setiap ide ataupun rencana untuk mendirikan Bank Syari’ah sering tidak dapat terwujud sebagai akibat tidak adanya modal yang cukup untuk pendirian Bank Syari’ah tersebut, walaupun dari sisi niat ataupun “ghiroh” para pendiri relatif sangat kuat. Kesulitan dalam pemenuhan permodalan ini antara lain disebabkan karena :
a. Belum adanya keyakinan yang kuat pada pihak pemilik dana akan prospek dan masa depan keberhasilan Bank Syari’ah, sehingga ditakutkan dana yang ditempatkan akan hilang.
b. Masih kuatnya perhitungan bisnis keduniawian pada pemilik dana sehingga ada rasa keberatan jika harus menempatkan sebagian dananya pada Bank Syari’ah sebagai modal.
c. Ketentuan terbaru tentang Permodalan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia relatif cukup tinggi.

2. Peraturan Perbankan
Peraturan Perbankan yang berlaku belum sepenuhnya mengakomodir operasional Bank Syari’ah mengingat adanya sejumlah perbedaan dalam pelaksanaan operasional Bank Syari’ah dengan Bank Konvensional. Ketentuan-ketentuan perbankan yang ada kiranya masih perlu disesuaikan agar memenuhi ketentuan syari’ah agar Bank Syari’ah dapat beroperasi secara relatif dan efisien. Ketentuan-ketentuan tersebut antara lain adalah hal-hal yang mengatur mengenai :
a. Instrument yang diperlukan untuk mengatasi masalah likwiditas.
b. Instrument moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah untuk keperluan pelaksanaan tugas Bank Sentral.
c. Standar akuntansi, audit dan pelaporan.
d. Ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai prinsip kehati-hatian, dll.
Ketentuan-ketentuan di atas sangat diperlukan agar Bank Syari’ah dapat menjadi elemen dari sistem moneter yang dapat menjalankan fungsinya secara baik dan mampu berkembang dan bersaing dengan Bank Konvensional.

3. Sumber Daya Manusia
Kendala dibidang SDM dalam pengembangan Perbankan Syari’ah disesabkan karena sistem perbankan syari'ah masih belum lama dikenal di Indonesia. Disamping itu lembaga akademik dan pelatihan ini masih terbatas, sehingga tenaga terdidik dan berpengalaman dibidang perbankan syari’ah baik dari sisi bank pelaksana maupun bank sentral (pengawas dan peneliti bank).
Pengembangan SDM dibidang Perbankan Syari’ah sangat diperlukan karena keberhasilan pengembangan bank syari’ah pada level mikro sangat ditentukan oleh kualitas manajemen dan tingkat pengetahuan serta ketrampilan pengelola bank. SDM dalam perbankan syari’ah memerlukan persyaratan pengetahuan yang luas dibidang perbankan, memahami implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam praktek perbankan serta mempunyai komitmen kuat untuk menerapkannya secara konsisten.

4. Pemahaman Ummat
Pemahaman sebagian besar masyarakat mengenai sistem dan prinsip Perbankan Syari’ah belum tepat, bahkan diantara ulama dan cendekiawan muslim sendiri masih belum ada kata sepakat yang mendukung keberadaan Bank Syari’ah, terbukti dari hasil pretest terhadap 37 Dosen Fakultas Syari’ah dalam acara Orientasi Perbankan yang telah dilakukan oleh Asbisindo Wilayah Jatim beberapa waktu yang lalu memberikan jawaban yang tidak konsekwen dan cenderung ragu-ragu. Dan masih adanya masyarakat yang mengaku paham akan Syari’ah Islam tetapi tidak mau menjalankannya seperti yang dialami oleh PT. BPR Syari’ah Baktimakmur Indah Sidoarjo dalam memberikan pembiayaan mudharabah dengan salah satu mitranya yang dikenal sebagai ulama yang mana sang ulama mau berbagi kerugian namun setelah untung tidak bersedia membagi keuntungannya dengan pihak Bank, yang tentunya bertentangan dengan akad yang telah disepakati di awal. Atau seorang ulama yang datang ke Bank dan menanyakan besarnya bunga atas simpanannya. Hal-hal seperti di atas merupakan kejadian nyata yang selalu dan kerap kali dialami dalam operasional bank Syari’ah sehari-harinya, bahkan mungkin lebih parah dari contoh-contoh di atas.

Dari kalangan ulama sendiri sampai saat ini belum ada ketegasan pendapat terhadap keberadaan Bank Syari’ah, kekurangtegasan tersebut antara lain disebabkan karena :
a. Kurang komprehensifnya informasi yang sampai kepada para ulama dan cendekiawan tentang bahaya dan dampak destruktif sistem bunga terutama pada saat krisis moneter dan ekonomi dilanda kelesuan.
b. Belum berkembangluasnya lembaga keuangan syari’ah sehingga ulama dalam posisi sulit untuk melarang transaksi keuangan konvensional yang selama ini berjalan dan berkembang luas.
c. Belum dipahaminya operasional Bank Syari’ah secara mendalam dan keseluruhan.
d. Adanya kemalasan intelektual yang cenderung pragmatis sehingga muncul anggapan bahwa sistem bunga yang berlaku saat ini sudah berjalan atau tidak bertentangan dengan ketentuan agama.
Minimnya pemahaman masyarakat akan Sistem Perbankan Syari’ah antara lain disebabkan karena :
a. Sistem dan prinsip operasional Perbankan Syari’ah relatif baru dikenal dibanding dengan sistem bunga.
b. Pengembangan Perbankan Syari’ah baru dalam tahap awal jika dibandingkan dengan Bank Konvensional yang telah ratusan tahun bahkan sudah mendarah daging dalam masyarakat.
c. Keengganan bagi pengguna jasa perbankan konvensional untuk berpindah ke Bank Syari’ah disebabkan hilangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan tetap dari bunga.

5. Sosialisasi
Sosialisasi yang telah dilakukan dalam rangka memberikan informasi yang lengkap dan besar mengenai kegiatan usaha perbankan syari’ah kepada masyarakat luas belum dilakukan secara maksimal. Tanggungjawab kegiatan sosialisasi ini tidak hanya dipundak para bankir syari’ah sebagai pelaksana operasional bank sehari-hari, tetapi tanggungjawab semua pihak yang mengaku Islam secara baik secara perorangan, kelompok maupun instansi yang meliputi unsur alim ulama, penguasa negara/pemerintahan, cendekiawan, dll. Yang memiliki kemampuan dan akses yang besar dalam penyebarluasan informasi terhadap masyarakat luas. Sosialisasi yang dilakukan tidak hanya kepada masyarakat awam tetapi juga kepada ulama, pondok pesantren, ormas-ormas, instansi, institusi, pengusaha, dll. Yang selama ini belum tahu ataupun belum memahami secara detail apa dan bagaimana keberadaan dan operasional Bank Syari’ah walaupun dari sisi Fiqih dan Syari’ah mereka tahu benar.

6. Piranti Moneter
Piranti Moneter yang pada saat ini masih mengacu pada sistem bunga sehingga belum bisa memenuhi dan mendukung kebijakan moneter dan kegiatan usaha bank syari’ah, seperti kelebihan/kekurangan dana yang terjadi pada Bank Syari’ah ataupun pasar uang antar bank syari’ah dengan tetap memperhatikan prinsip syari’ah. Bank Indonesia selaku penentu kebijakan perbankan mencoba untuk menyiapkan piranti moneter yang sesuai dengan prinsip syari’ah seperti halnya SBI dan SBPU yang berlandaskan syari’ah Islam.

7. Jaringan Kantor
Pengembangan jaringan kantor Bank Syari’ah diperlukan dalam rangka perluasan jangkauan pelayanan kepada masyarakat. Disamping itu kurangnya jumlah Bank Syari’ah yanga ada juga menghambat perkembangan kerjasama antar Bank Syari’ah. Jumlah jaringan kantor bank yang luas juga akan meningkatkan efisiensi usaha serta meningkatkan kompetisi ke arah peningkatan kulaitas pelayanan dan mendorong inovasi produk dan jasa perbankan syari’ah.
Pengembangan jaringan Perbankan Syari’ah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain:
a. Peningkatan kualitas Bank Umum Syari’ah dan BPR Syari’ah yang telah beroperasi.
b. Perubahan kegiatan usaha Bank Konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syari’ah.
c. Pembukaan kantor cabang syari’ah (full branch) bagi bank konvensional yang memiliki kondisi usaha yang baik dan berminat untuk melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Pembukaan kantor cabang syari’ah dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain :
- Pembukaan kantor cabang dengan mendirikan kamtor, perlengkapan dan SDM yang baru.
- Mengubah kantor cabang yang ada menjadi kantor cabang syari’ah.
- Meningkatkan status kantor cabang pembantu menjadi kantor cabang syari’ah.

8. Pelayanan
Dunia perbankan senantiasa tidak terlepas pada masalah persaingan, baik dari sisi rate/margin yang diberikan maupun pelayanan. Dari hasil survei lapangan membuktikan bahwa kualitas pelayanan merupakan peringkat pertama kenapa masyarakat memilih bergabung dengan suatu bank.

Dewasa ini semua Bank Konvensional berlomba-lomba untuk senantiasa memperhatikan dan meningkatkan pelayanan kepada nasabah, tidak telepas dalam hal ini Bank Syari’ah yang dalam operasionalnya juga memberikan jasa tentunya unsur pelayanan yang baik dan islami hahrus diperhatikan dan senantiasa ditingkatkan. Tentunya hal ini harus didukung oleh adanya SDM yang cukup handal dibidangnya. Kesan kotor, miskin dan tampil ala kadarnya yang selama ini melekat pada “Islam” harus dihilangkan.

C. Keterkaitan Institusi Pendidikan dalam Pengembangan Perbankan Syariah
Seperti telah disebutkan di atas bahwa salah satu penghambat perkembangan Bank Syari’ah adalah keberadaan SDM. Guna menciptakan SDM yang handal dan profesional dibidang Perbankan Syari’ah tentunya tidak terlepas dari peranan Institusi Pendidikan yang dalam hal ini memang berperan sebagai pencetak SDM.

Mengingat prospek Bank Syariah dalam dunia perbankan sangat bagus bahkan mendapat tanggapan positif dari semua pihak, sebaliknya perkembangan Bank Syariah sendiri masih berada pada phase “growth” justru sangat kritis/riskan. Pilihan kita hanya satu yakni bagaimana mewujudkan keberhasilan atau sukses. Kiranya dalam pengembangan Bnak Syariah ini dipersyaratkan dukungan SDM yang berkualitas, berintegritas dan bermoral islami. Dan mengingat sampai saat ini masih belum ada lembaga/institusi pendidikan yang handal dan berkualitas dalam menciptakan SDM Perbankan Syariah, maka sudah saatnya bagi para cendekiawan muslim untuk turut serta memikirkan pengembangan Perbankan Syariah dengan cara menyiapkan SDM yang handal dan profesional di bidang perbankan syariah melalui institusi pendidikan yang dimilikinya.

Sebagai contoh apa yang telah dirintis oleh STIE Perbanas Surabaya dengan memberikan mata kuliah pilihan Syariah Banking pada mahasiswanya mulai tahun ajaran 1999/2000 yang dalam pelaksanaanya bekerjasama dengan PT. BPR Syariah Baktimakmur Indah sebagai tenaga pengajar. Dengan keberhasilan yang dicapai dalam taraf uji coba ini, direncanakan pada tahun ajaran berikutnya dapat ditingkatkan dengan membuka Program D-1 dan D-3 Perbankan Syariah.

D. Penutup
Pengembangan perbankan syariah pada dasarnya merupakan bagian penting yang tidak terpisahkan dari Pengembangan Ekonomi Islam. Salah satu alternatif yang sesuai untuk diterapkan di Indonesia dalam rangka memperbaiki keterpurukan ekonomi yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah dengan cara mengembangbiakkan Perbankan Syariah yang beroperasional secara syariah Islam secara lebih luas. Tentunya pengembangan Perbankan Syariah ini tidak dapat berhasil dengan baik apabila tidak ada dukungan dari semua pihak baik pemerintah, ulama, cendekiawan, pengusaha, pengelola Bank bahkan masyarakat sendiri serta adanya satu kesatuan pola pikir tentang Bank Syariah dari semua pihak tersebut di atas, sehingga dalam perjalanan/operasional Bank Syariah tidak lagi ditemukan adanya perbedaan pendapat yang kontroversial. Karena kontroversi yang merebak hanya akan membingungkan umat, yang berakibat kepada keraguan mereka untuk menyambut kehadiran “bayi ekonomi Islam” yang untuk masa sekarang ini muncul sebagai pionir dalam bentuk/matra Perbankan Syariah.

Kekurang berhasilan Perbankan Syariah di Indonesia dikhawatirkan akan semakin menjauhkan umat dari kepercayaan atas kemungkinan diterapkannya konsep ekonomi Islam didalam kehidupan nyata.

Drs. Ec. H. Tjuk K Sukiadi - Komisaris Utama PT. BPR Syariah Baktimakmur Indah Sidoarjo
Tazkia Online