Sunday 16 May 2010

PRADIGMA ZAKAT

Merubah Paradigma Zakat PDF Cetak E-mail


zakatZAKAT adalah kewajiban inti Islam. Melalui syariat ini, mekanisme distribusi kesejahteraan dalam konsep Islam, diejawantahkan. Ada perpindahan kekayaan dari yang mampu ke yang tidak mampu. Karena itu, membahas zakat secara paradigmatis dan kontekstual sangat penting. Paradigmatis berarti mengenai pola pikir dan pemaknaan zakat sesuai tujuan utamanya, yaitu kesejahteraan rakyat. Serta kontekstual, artinya ada pertimbangan nilai kekinian dalam syariat itu.
Mari kita kutip al-Quran Surah al-Ma’un. Jelas di situ diterakan, “Tahukah engkau (orang atau kumpulan orang atau negara) yang mendustakan agama...”. Jadi negara yang mendustakan agama adalah negara yang tidak sungguh-sungguh mengurusi kaum miskin. Ayat itu menyebutkan, ciri kesalehan suatu pribadi, institusi dan negara adalah pemihakan kepada yang terpinggirkan. Benar agaknya, faktor kesalehan akan terganggu jika masalah ekonomi terganggu. Ajaran Islam tidak hanya masalah spiritual tapi juga material.

Oleh karena itu, ketika berbicara masalah keadilan, harus kita mulai dengan keadilan material (ekonomi). Dalam konteks, ini kita bisa melihat negara sebagai instrumen yang powerfull, hal itu disikapi dan diintervensi oleh Islam dengan menggunakan komponen material, yaitu berupa pajak.

Pajak adalah “darah-kehidupan (life-blood)” tubuh kekuasaan bernama negara. Pajak dibayar negara tegak, pajak diboikot negara ambruk. Juga ibarat makanan bagi tubuh manusia; jika makanannya halal dan baik, tubuh menjadi sehat dan kehidupan pun penuh berkah. Sebaliknya jika makanannya buruk lagi haram, maka tubuh akan penyakitan dan kehidupan jauh dari keberkahan.

Bongkar Paradigma

Di sini timbul pertanyaan, bagaimana pajak itu dipersepsikan—yang kemudian diturunkan dalan kebijakan dan regulasi negara? Terlebih lagi, jika kita melihat, selama ini anggaran untuk belanja aparat dari APBN mencapai angka 70 persen, apakah ini bisa dibenarkan dalam kacamata zakat? Kita selama ini tidak menganggap itu sebagai masalah, karena kita tidak memiliki kerangka paradigma yang tegas. Karena itu, ada beberapa hal yang hendaknya jadi pokok pikiran dalam diskusi ini.

Pertama, tidak ada asma Allah dalam pajak. Kita terlanjur terlalu lama menjadi sekuler, memisahkan urusan agama dengan dunia. Termasuk dalam konteks ini, zakat dibedakan dengan pajak. Warga negara—muslim—yang sudah mengeluarkan uangnya untuk zakat, masih harus membayar pajak kepada negara. Jadi, harus membayar dua kali lipat, satu kewajiban agama, satu lagi “paksaan” negara. Padahal, syariah-nya kalau sudah bayar zakat, maka bersihlah hartanya.

Hal ini berimplikasi serius, yaitu pada penyikapan terhadap uang itu. Jika zakat, pengelola dan distributornya, akan berhati-hati karena ada “nama Allah” di setiap keping rupiah itu. Maka peruntukannya juga sangat hati-hati, zakat adalah uang titipan Allah.

Sementara, kalau “hanya” uang pajak—sebagaimana yang terjadi selama ini—banyak orang berani korupsi. Karena, agaknya menurut mereka, uang pajak tidak dilekati “nama Allah”. Saat membayar, wajib pajak tidak harus membaca asma Allah dan nawaitu untuk agama, mereka hanya harus tandatangan di form tertentu. Ini membuat tidak ada nilai sakral dalam uang pajak.

Idealnya, perlu “membalut” seluruh uang yang dibayar wajib pajak dengan asma Allah. Kehadiran asma Allah dalam pembayaran setiap rupiah dari uang pajak akan menggugah ketakwaan—bukan sekedar ketakutan—pada nurani setiap aparat negara, baik pemungut mau pun pengelola. Mereka akan ekstra hati-hati, agar setiap rupiah dari uang pajak yang dikelolanya dapat dipertanggungawabkan “ke atas”, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala, dan “ke bawah”, yaitu kepada segenap rakyat yang membayar (muzakki) maupun yang berhak menerima manfaat (mustahiq).

Kedua, pembayar pajak banyak, lebih dilindungi. Menurut Masdar F Mas’udi, ada tiga persepsi tentang zakat, yaitu [1] pajak sebagai upeti (dlaribah), [2] pajak sebagai imbal jasa (jizyah) dan [3] pajak sebagai zakat, keadilan untuk semua. Agaknya, yang terjadi di Indonesia sekarang ini adalah pajak dengan jenis pertama dan kedua. Warga membayar pajak atas “paksaan” negara—yang melabeli segala produk dan aktivitas warga dengan pajak, dan membayar pajak sebagai “imbal jasa” pengamanan.

Maka, yang terjadi sungguh menyesakkan dada. Pengusaha komprador dan mereka yang korupsi dan menggerogoti uang pajak dari rakyat—dengan cara yang “legal”—tetap akan dilindungi, karena secara legal, pajak mereka besar dan lancar. Sementara pedagang kaki lima atau pengusaha kecil yang tak mampu bayar pajak, tidak mendapat perlindungan memadai dari aparat, bahkan sering diusir-usir.

Rakyat kaya pembayar pajak besar berhak mendapatkan layanan dari negara lebih besar dibanding yang diterima pembayar pajak kecil. Pada saat yang sama, rakyat miskin papa yang tidak mampu membayar pajak sama sekali, secara normatif, tidak berhak menuntut apa-apa dari negara selain menunggu tetesan kedermawanan (tricle down effect) belaka dari para elitenya. Bayar mahal dilindungi, bayar sedikit terusir. Di manakah keadilan ini diletakkan?

Ketiga, harus diadakan sosialisasi untuk revolusi pemahaman akan pajak, yaitu membayar atas nama Allah. Dari sini akan muncul akibat, dari sudut rakyat pembayar (tax-payer), pajak akan dibayarkan dengan hati ikhlas sebagai kewajiban ilahiyah untuk kebaikan dan kemaslahatan bersama. Selain itu, gerutuan yang selama ini menyertai setiap momen pembayaran pajak dan membuatnya sebagai “uang panas dan kotor”, akan digantikan dengan keikhlasan beribadah yang akan mengubah status uang pajak menjadi halal dan penuh berkah.

Jika itu sudah terwujud, akan terjadi proses peralihan pada uang pajak yang dalam konsep upeti (dlaribah) atau imbal jasa (jizyah) merupakan uang penguasa, bergeser menjadi uang Allah untuk kepentingan segenap rakyat tanpa membedakan agama dan keyakinannya (Qs. at-Taubat: 60).

Implikasi Kontrol Anggaran Negara

Pengawasan zakat selama ini dilakukan oleh para ulama. Lebih banyak kontrol personal, zakat tidak diwajibkan oleh negara, warga muslim yang bayar zakat lebih banyak karena kesadaran individual. Pengontrolnya—misalnya jika muslim itu ikut jamaah pengajian—akan dilakukan oleh imam, kiai atau guru spiritualnya. Nah, dalam konteks ini, harus dilakukan perubahan paradigma secara mendasar, menggabungkan spirit zakat dalam pembayaran pajak. Implikasinya sebagai berikut:

Pertama, pajak sebagai panggilan iman dan kewajiban sosial, mengundang kesadaran segenap rakyat pembayar pajak (muzakki) maupun rakyat penerima (mustahiq) untuk mengontrol jalannya pemerintahan-negara sedemikian rupa, sehingga perilaku negara benar-benar sejalan dengan visi-misinya, sebagai instrumen penegak keadilan dan kesejahteraan bagi segenap rakyat—sesuai sila kelima Pancasila.

Kedua, mempertajam makna korupsi. Dalam negara dengan konsep “pajak-sedekah” atau socio-religious responsibility, korupsi didefinisikan lebih mendasar: bukan sekedar sebagai “penyelewengan uang negara di luar ketentuan formal anggaran.” tapi lebih dalam, yaitu “meskipun sesuai angka dan alokasi dalam anggaran, tetapi jika tidak memihak kepentingan rakyat, terutama yang kecil, itu pun termasuk korupsi.”

Kontekstualisasi

Sebetulnya, secara nominal, ketetapan zakat yang hanya 2,5 persen, pada zaman sekarang agak tidak masuk akal—jumlah itu sangat sedikit jika melihat kebutuhan distribusi silang-harta kaya kepada miskin. Betapa jumlah orang miskin di Nusantara ini sangat banyak. Mereka butuh kedermawanan.

Agaknya perlu dihitung kembali berapa persen tarif zakat itu dibayarkan. Objek pajak pada zaman Rasulullah yang disebutkan, misalnya adalah onta. Sekarang, tentu merek mobil seperti Lexus, Aston, Mercedes, harus mendapat tarif zakat-pajak lebih tinggi. Negara harus memulai hal ini, parlemen seharusnya menjadi lembaga ijtihad dan ijma’. Pemerintah hanya sebagai pemungut. Satu yang tidak boleh berubah, yaitu spirit keadilan.

Oleh karena itu saya menawarkan rumus kompromi, misalnya besar pajak 20 persen, yang 2,5 persen biarlah dikelola oleh ormas Islam, selebihnya oleh negara. Namun, yang 2,5 persen itu tetap bertanggungjawab terhadap negara agar kekuatan civil society tumbuh.

Berikutnya, perlu kontekstualisasi terhadap konsep delapan asnaf yang berhak mendapat zakat. Tawarannya, dalam konteks tasaruf (distribusi) pajak-zakat ini, bisa dikelompokkan menjadi tiga, yaitu [1] pemberdayaan rakyat lemah (kaum fakir miskin, budak, orang-orang bangkrut, rehabilitasi sosial, pengungsi) sebagai prioritas utama; [2] biaya rutin pemerintahan sebagai Aparat Pelayan Publik (’amilin); [3] public good (sabilillah), baik infrastruktur fisik seperti jalan, jembatan dan bangunan sekolah atau rumah sakit, maupun non-fisik seperti penegakan hukum, pengembangan ilmu pengetahuan, dan seni budaya.

Catatan Akhir atas Rencana Sentralisasi

Tentang usulan akan adanya sentralisasi pengelolaan zakat di bawah negara, harus didiskusikan secara mendalam. Semangat dasar zakat adalah filantropi (kedemawanan). Jika lembaga zakat dicangkokkan kepada negara, bisakah dijamin regulasi ini efektif?

Pertama, ada klausul tawaran dalam amandemen UU No 38 tahun 2009 itu, bahwa akan ada sanksi bagi pemungut zakat yang tidak “sah”. Mari kita lihat fakta lapangan, banyak masyarakat muslim—kebanyakan di desa—yang membayarkan zakat melalui kiai di pesantren atau guru majelis taklimnya. Mereka sudah percaya akan distribusi harta mereka. Apakah para kiai dan ustadz majelis taklim ini akan mendapat sanksi?

Maka, lebih dulu perlu diperjelas, sosialisasi akan dilakukan berapa lama. Kemudian, masa berlaku regulasi pemberian sanksi ini kapan. Jangan sampai terjadi penolakan dari masyarakat sendiri.

Kedua, jika benar regulasi ini berlaku, untuk operator, yaitu organisasi pengelola zakat, pemerintah tidak perlu membuat yang baru. Lembaga yang selama ini sudah mapan, misalnya RZI, PKPU, Dompet Dhuafa, YDSF dan sebagainya, lebih kapabel menjadi pengelola. Karena sudah bertahun-tahun mereka melakukan itu dan memiliki manajemen yang teruji.

0 comments: