Judul
Buku :
Pesan-Pesan Islam, Rangkain Kuliah Musm Semi 7953 di Cornell University Amerika
Serikat
Penulis
: Agus Salim
Penerbit
: PT. Mizan Pustaka
Tahun
: I, Mei 2011
Tebal
: 389 halaman
Mashudul Haq (pembela
kebenaran) atau yang biasa kita kenal dengan Hadji Agus Salim adalah salah satu
tokoh pahlawan nasional yang terkenal sebagai penguasa Sembilan bahasa, yaitu :
bahasa Jerman, Belanda, Perancis, Arab, Turki, Jepang, Inggris, Indonesia dan
bahasa daerah.
Hadji Agus Salim dikenal
banyak kalangan sebagai seorang yang memiliki intelektualitas luar biasa, yang kiprahnya
tidak hanya di ranah domestik saja, melainkan sampai pada ranah publik
internasional. Dengan kualitas Hadji Agus Salim yang serba bisa, ia aktif dan
bisa berkiprah mendunia sebagai penerjemah, ahli sejarah, wartawan, sastrawan,
diplomat praktisi pendidikan, filsuf dan ulama. Banyak cendikiawan luar negeri
yang memujinya karena kemampuannya sebagai seorang jenius dalam bidang bahasa
yang mampu menulis dan berbicara dalam banyak bahasa asing.
Dengan berbagai
kemampuan yang dikuasainya itu, Hadji Agus Salim diundang sebagai guru besar
tamu pada semester musim semi tahun 1953, untuk memberi suatu kursus kuliah
tentang agama Islam, dan suatu seminar tentang Islam di Indonesia. Kedua tugas
tersebut berjalan dengan lancar dan banyak menimbulkan minat di kalangan kaum
mahasiswa. Selama musim semi itu (Januari-Juni), Hadji Agus Salim berhasil
memberikan 31 kuliah, yang kesemuanya membicarakan masalah Islam—khususnya
sejarah Nabi Muhammad. Semua kuliah Hadji Agus Salim ini kemudian berhasil
dibukukan pada tahun 2011, dengan judul “Pesan-Pesan Islam: Rangkaian Kuliah
Musim Semi 1935 di Cornel University Amerika Serikat” yang diterbitkan oleh
Penerbit Mizan Pustaka, Bandung
Melalui kuliah-kuliahnya
ini, Hadji Agus Salim menjadi pelopor dalam mengenalkan Islam di Amerika
Serikat (AS) sekaligus membangun dialog antar-peradaban dan iman. Dalam
penyampaian kuliahnya itu, di tengah-tengah cerita tentang kisah Nabi Muhammad
SAW, Hadji Agus Salim tidak jarang mengutip dan menggunakan cerita-cerita
sejarah bangsa-bangsa Barat atau kejadian-kejadian dunia kontemporer. Hal
inilah yang menjadi nilai lebih dari Hadji Agus Salim dalam setiap dakwahnya,
mengingat kuliah itu disampaikan di depan orang-orang Barat, AS. Semua ini,
kalau saya menilai, merupakan pengejewantahan dari hadis Nabi yang intinya;
bahwa dakwah harus disampaikan dalam bahasa kaumnya. Dalam konteks buku ini
adalah Barat (Eropa).
Selain itu, buku ini
juga dilengkapi dengan catatan atau anotasi dari generasi penerusnya, Cut
Aswar. Anotasi-anotasi tersebut terdiri dari empat hal; pertama, menerangkan
lebih jauh apa yang dimaksud oleh Hadji Agus Salim. Kedua, mengomentari bahwa
Hadji Agus Salim pernah membahasnya dalam bentuk senada atau berbeda. Ketiga,
mengemukakan teks-teks yang lebih lengkap. Dan keempat, memberi catatan-catatan
tentang kekeliruan Hadji Agus Salim dengan mengemukakan alasan-alasan rasional
dan historis, yang juga dilengkapi dengan daftar pengambilannya, di mana
pembaca bisa merujuk pada sumber aslinya.
Meski isi buku ini
disampaikan Hadji Agus Salim pada puluhan tahun silam dan temanya berupa tema
yang sudah dibahas banyak buku, namun isi buku ini berbeda dengan buku-buku
sejarah Nabi (Muhammad) pada kebanyakan, di mana dalam buku ini ada sisi unik
dan menarik yang disampaikan Hadji Agus Salim di dalamnya.
Sisi unik dan menarik
yang saya maksud adalah Hadji Agus Salim berhasil berbicara sesuai dengan
konteks dan lingkungan tempat penyampaian kuliah waktu itu (AS), yang masih
relevan sampai saat ini. Dengan kata lain, Hadji Agus Salim dengan kepiawaiannya
berhasil melampaui zamannya, sehingga membaca buku ini, pembaca tidak sekedar
membaca gagasan “masa lalu”, namun pembaca juga akan merasakan “masa kini” di
lembar-lembar halaman buku ini.
Meminjam istilahnya
Anies Baswedan dalam pengantar buku ini (hal, xxxii), bahwa dalam penyampaian
kuliahnya di Cornell University ini, Hadji Agus Salim berhasil menjahit masa
lalu, masa kini, masa depan menjadi satu pakaian indah yang cocok dengan
manusia zaman ini; hangat bagi mereka yang dicekam musim dingin Amerika Utara
dan menyejukkan bagi mereka yang berpetualang di padang Arabia.
Tidak hanya itu, dalam
buku ini, juga ada hal yang baru dan “menantang”. Dalam satu bagian misalnya,
Hadji Agus Salim mencoba menafsiri arti “fardhu” dengan “bagian atau
jatah”, bukan “wajib” (hal. 1). Logika dari penafsiran ini adalah, bahwasanya
penunaian kewajiban itu bukanlah diperlukan bagi Tuhan, melainkan diperlukan
bagi manusia. Untuk itu, jika kita ingin hidup beribadah, maka kita mutlak
perlu untuk mematuhi suatu ketertiban, suatu disiplin tertentu. Karena itulah, fardhu adalah
bagian atau jatah untuk manusia, yang dianugerahkan atau dikaruniakan Tuhan
kepada manusia.
Di bagian lain, Hadji
Agus Salim mengungkapkan pendapatnya masalah gender (hal. 308-318). Menurut
Hadji Agus Salim, tidak ada aturan tegas dalam agama mengenai boleh tidaknya
perempuan terjun dalam dunia publik. Untuk itu, menurutnya, perempuan juga
punya peluang untuk menduduki posisi publik (presiden, menteri, gubernur,
bupati/wali kota dan sejenisnya), asalkan urusan dapur (baca: rumah tangga)
tidak terbengkalai (hal. 313).
Terakhir, buku ini cocok
untuk dibaca oleh semua kalangan, baik mereka yang ingin lebih memperdalami
sejarah dan ajaran agama (Islam) maupun mereka yang ingin mengetahui lebih
banyak gagasan Hadji Agus Salim—khususnya tentang keislaman.
0 comments:
Post a Comment