Friday 16 August 2013

UN : ANTARA KARAKTER DAN PEMBODOHAN




Sudah hampir tiga minggu yang lalu, adik-adik SMA, SMP dan SD mengikuti Ujian Nasional (UN) yang diinisiasi oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan (kemendikbud) dan diselenggarakan di masing-masing sekolah. Santer diberitakan banyak sekali kejadian janggal terkait UN tahun ini (2013), dimulai kualitas lembar jawaban yang tidak layak, salah distribusi soal, keterlambatan distribusi soal dan ada dugaan korupsi dalam pengadaan soal UN tahun ini. Tidak dipungkiri bahwa UN menjadi pemicu semangat siswa untuk belajar lebih giat lagi di sekolah, bahkan hampir setiap sekolah mengadakan pengayaan bagi siswa tahun terkahir di masing-masing tingkatan yang akan mengikuti UN. Biasanya kegiatan pengayaan menjadi peluang sekolah untuk ‘berbisnis’ dengan meminta tambahan uang kepada para siswa yang mengikuti pengayaan karena program pengayaan diadakan diluar jam pelajaran kelas. Memang akan sangat tendensius ketika sekolah dikatakan ‘berbisnis’ program pengayaan tetapi yang terjadi adalah begitu adanya.
Tidak hanya siswa yang akan mengikuti UN saja yang khawatir tetapi orang tua, pihak sekolah dan sebagian tokoh masyarakat menjadi cemas. Dengan adanya kekhawatiran tersebut maka tidak heran apabila banyak orang tua siswa yang harus merogoh kocek untuk membiayai anaknya untuk ikut bimbingan belajar di lembaga bimbingan tertentu ataupun untuk mengikuti pengayaan di sekolah. Malah kekhawatiran yang berlebihan ini, akan membuat gelap mata orang tua untuk melakukan apa saja demi anaknya lulus UN. Tindakan positifnya orang tua mendoakan anaknya agar lulus UN, karena dengan seperti itu anak-anak akan termotivasi secara spiritual. Tidak mau ketinggalan, pihak sekolah pun mengadakan acara doa bersama untuk kelulusan. Sayangnya kegiatan seperti hanya incidental saja, tidak menjadi kebiasaan (behavior) yang dilakukan sehari-hari.
Bagi siswa, dengan adanya UN, sisi positifnya mereka akan beajar lebih giat, ikut bimbingan belajar (bimbel) ataupun ikut pengayaan di sekolah. Mereka rela mengorbankan apa saja demi lulus UN. Selain itu, mereka akan menjadi giat untuk beribadah dan berbuat baik. Mulai dari Saum senin-kamis, shalat dhuha, shalat tahajud, infaq dll. Sebagian siswa sadar bahwa tidak hanya kesiapan inetelektual saja tetapi kesiapan spiritual dan emosional juga menjadi penting.
Persiapan sudah dilakukan, tetapi dalam pelaksanaan UN, ketika terjadi kekhawatiran yang mencekam dan ketidak percayaan diri menjawab serta melihat lingkungan yang mendukung untuk melakukan kecurangan maka yang terjadi adalah kegiatan plagiat. Kita tidak bisa menutup mata, ketika pelaksanaan UN pihak sekolah biasanya punya ‘rencana strategi’ untuk membagi-bagi jawaban UN. Siswa yang tadinya secara mental dan moral siap untuk menghadapi UN secara jujur dan bersih serta menikmati proses belajar menghadapi UN menjadi ragu dan berpikir instan untuk mendapatkan jawaban UN tanpa berpikir. Maka sia-sia lah proses persiapan yang tadi dilakukan untuk menghadapi UN. Proses belajar yang seharusnya tidak mengenal plagiat/nyontek dan instan hanya menjadi teori saja. Pola pikir siswa pun menjadi pola pikir yang serba cepat tanpa harus bekerja keras. Ini merupakan karakter yang berbahaya. Bukan lagi masalah lulus UN atau tidak tapi ini akan menjadi karakter yang mendarah daging yang akan berdampak bagi masyarakat secara umum di Indonesia. Maka tidak heran apabila sekarang ini, banyak pola pikir pejabat di negeri ini yang instan tanpa mau bekerja keras, salah satu contoh nyata kegiatan tersebut adalah tindakan korupsi.
Kedepan, saya berharap perlunya evaluasi terkait UN yang dilaksanakan. Kita harus menyadari bahwa UN tidak hanya terkait lulus atau tidak tetapi menyangkut masalah karakter bangsa. Ketika karatkter bangsa kita menjadi instan dan tidak mau bekerja keras, maka mau seperti apa wajah bangsa Indonesia kedepannya?? (AP)

0 comments: