Monday 7 May 2012

Quo Vadis Tata Kelola Energi Nasional

QUO VADIS TATA KELOLA ENERGI NASIONAL
Oleh : Arip Perbawa 120310100029
Energy adalah suatu yang penting dalam kehidupan manusia. Manusia hidup karena adanya energy. Aktivitas yang manusia lakukan setiap hari, mulai dari berfikir, olahraga,bekerja dan jalan kaki membutuhkan energy. Energy adalah penggerak kehidupan manusia dan kita tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia.
Indonesia adalah salahsatu Negara yang kaya akan sumber daya energy. Mulai dari energy minyak dan gas (migas), air, angin, panas bumi (geothermal), surya, laut dan energy nuklir. Hanya yang menjadi permasalahannya adalah selama ini kita masih bertumpu pada energy minyak dan gas (migas), sedangkan sumber-sumber energy yang lain masih belum di optimalkan untuk di gunakan. Sebagaimana kita ketahui bahwa cadangan energy minyak bumi Indonesia diperkirakan sampai sekarang ini adalah 9 milyar barel, dengan tingkat produksi rata-rata 0,5 milyar barel per tahun, sehingga diperkirakan cadangan minyak akan habis dalam waktu 18 tahun. Cadangan gas diperkirakan 170 TSCF (trilion standart cubic feed) sedangkan kapasitas produksi  mencapai 8,35 BSCF (billion standart cubic feed). Cadangan batubara diperkirakan 57 miliar ton dengan kapasitas produksi 131,72 juta ton per tahun (fuadrofiqi.blogspot.com).
Ironisnya indonesia sejak tahun 2004 menjadi Negara pengimpor minyak bumi karena besarnya konsumsi minyak terutama premium dan solar. Padahal sebelum tahun 2004, Indonesia adalah Negara pengekspor minyak yang tergabung dalam OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries). ini semua menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan rakyat untuk bersama-sama mengelola sumber energy di Indonesia. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka lambat laun ini akan menjadi ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Pemerintah sebagai pemegang kekuasaan seharusnya dari sekarang membuat kebijakan-kebijakan untuk ketahanan energy di Indonesia. Banyak cara untuk mewujudkannya misalnya mengembangkan sumber energi yang belum dioptimalkan dengan baik (air,angin,panas bumi,surya), mencari dan mengembangkan sumber energi alternative terbarukan, mengurangi pengelolaan minyak dan gas oleh pihak swasta asing, dan mengurangi penggunaan BBM.
Untuk pengembangan sumber energi yang belum dioptimalkan dengan baik perlu turun tangan pemerintah dalam pengelolaannya. Dalam hal penggunaan batubara dan gas bumi (yang selama ini hanya difokuskan untuk ekspor) untuk pembangkit listrik menggantikan BBM terbukti mengurangi pemakaian BBM untuk pembangkit listrik, dari 34 persen kompas.com, 5 Juni 2006) pada tahun 2006 menjadi 29 persen pada tahun 2008 kompas.com, 4 Juni 2008). Walaupun metode ini terbukti efektif mengurangi konsumsi BBM, tetapi polusi yang dihasilkan dari pembakaran batubara cukup parah, sehingga dibutuhkan alternatif energi lain yang lebih bersih. Sebagai alternatif lain, potensi energi geotermal Indonesia yang sebesar 27.000 MegaWatt (atau 40 persen potensi energi geotermal dunia) merupakan yang terbesar di dunia. Sayangnya, potensi ini belum dimanfaatkan secara optimal. Pada tahun 2008, tidak sampai 8 persen potensi energi geotermal yang dimanfaatkan untuk PLTPB, padahal dari potensi energi panas bumi saja sudah hampir mampu untuk mencukupi kebutuhan listrik di Indonesia tahun 2008 yang sekitar 29.000 MW, atau bahkan lebih dari seperempat kebutuhan listrik Indonesia tahun 2020 yang diproyeksikan sebesar 100.000 MW.
Alternatif lainnya adalah penggunaan nuklir untuk membangkitkan listrik. Terlepas dari perseteruan antara WALHI vs BATAN seputar pemanfaatan nuklir untuk PLTN, data badan energi A.S. tahun 2006 menunjukkan bahwa fuel cost untuk energi nuklir merupakan yang terendah (US$ 0,0172 per kWh), di bawah batubara yang US$ 0,0237 per kWh ; sementara minyak bumi adalah yang tertinggi (US$ 0,0963 per kWh). Hanya saja, biaya operasi dan maintenance untuk PLTN masih lebih tinggi daripada batubara. Pemerintah sendiri berencana membangun sampai 3 PLTN dengan total kapasitas minimal 3.000 MegaWatt, dan diharapkan bisa mulai beroperasi pada tahun 2016. Indonesia sendiri ternyata memiliki cadangan uranium yang luar biasa melimpah di Papua, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.
Adapun energi panas matahari juga cukup menjanjikan. Pulau Kalimantan yang terletak di khatulistiwa mendapatkan intensitas radiasi matahari yang konstan sepanjang tahun. Di pulau Kalimantan, intensitas puncak radiasi pada tengah hari bisa mencapai 1,02 kW / m2. Dengan asumsi efisiensi terendah (15 %) dan luas panel 400 m2, maka potensi daya maksimum yang bisa dibangkitkan adalah 61,5 kW (atau rata-rata harian sebesar 20 kW). Kendala dari pembangkit listrik tenaga surya ini adalah hanya dapat beroperasi jika ada sinar matahari. (arton.blog.uns.ac.id/2009/08/25/masalah-energi/).
Dalam hal pengembangan sumber energi alternative, pemerintah bisa bekerjasama dengan rakyat dalam pembuatan energinya seperti pembuatan energi biomass. Masyarakat Indonesia sendiri sudah memanfaatkan biomass untuk memasak sejak dahulu, yang umumnya berasal dari batok kelapa, kayu bakar, serbuk gergaji, maupun sekam / merang padi. Di Indonesia, perkebunan kelapa sawit di Kalteng saja berpotensi menghasilkan listrik lebih dari 200 Mega Watt. Belum lagi biomass yang berasal dari tempat dan sumber lain di Indonesia, seperti sekam padi dan ampas tebu. Pengadaan listrik dari biomass juga dapat mengurangi pengangguran, karena dapat digolongkan sebagai kegiatan padat karya. Selain itu, potensi dari enegri alternative seperti bahan bakar nabati (BBN) berupa biodiesel dan bioethanol serta BBM sintetis dari proses coal liquefaction (destilasi cair batubara) yang di hasilkan dari batubara perlu juga mendapat perhatian. Indonesia adalah Negara pengekspor batubara kedua terbesar dunia. Akan lebih baik jika batubara ini diproses di dalam negri menjadi BBM sintetis (premium dan solar) untuk memenuhi kebutuhan BBM domestik daripada sekedar mengekspornya ke luar negeri. Untuk bioethanol bisa menggunakan singkong dan tebu dalam pembuatannya. Pembuatan bioethanol sudah diterapkan oleh Negara Brazil, pada tahun 1975, telah dimulai program Pro-Alcool (Program Alkohol Nasional) yang dipicu krisis minyak di negara tersebut dua tahun sebelumnya. Hingga saat ini, program tersebut telah berhasil mengurangi 10 juta mobil berbahan bakar bensin. Pajak yang tinggi bagi bensin dan subsidi pemerintah bagi usaha ethanol, menyebabkan industri ethanol berkembang dengan subur di Brazil. Ini bisa dicontoh oleh Indonesia, karena Brazil merupakan Negara tropis yang hampir sama dengan Indonesia.
Dalam pengelolaan sumber daya minyak dan gas seharusnya pemerintah mengurangi jumlah perusahaan swasta asing. Terutama dalam kepemilikan saham, misalnya kalau bisa pemerintah yang memegang kendali dengan perbandingan 50+1 bagi pemerintah. Karena sebagaimana kita ketahui seharusnya pemerintah harus mengedepankan kepentingan nasional dan optimalisasi manfaat ekstraksi sumberdaya mineral untuk kesejahteraan rakyat dalam pengelolaan sumberdaya alam yang tidak terbarukan sesuai dengan UUD 1945 pasal 33. Contohnya kasus yang masih hangat baru-baru ini mengenai pembelian saham PT Newmont Nusa Tenggara (NTT) oleh pemerintah melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) adalah langkah yang tepat. Walaupun terjadi clash  antara DPR dan Pemerintah, tetapi disini pemerintah sudah melakukan hal yang tepat. Menurut Fabby Tumiwa, seorang peneliti dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dalam diskusi panel bertema: “Quo Vadis Tata Kelola Sumberdaya Alam Indonesia: Mengkaji Kasus Pembelian Saham PT NNT,” menyebutkan, pandangan tradisional yang menganggap bahwa negara hanya perlu menggantungkan penerimaannya dari royalti dan pajak harus dirubah. Negara melalui pemerintah yang legitimate seharusnya didorong untuk berinvestasi di sektor-sektor sumberdaya alam untuk mengoptimalkan manfaat sumberdaya untuk kemakmuran rakyat. Untuk itu pemerintah dapat memakai Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang dapat dinyatakan sebagai Sovereign Wealth Fund untuk melaksanakan tugas tersebut.
Untuk mengurangi ketergantungan pada BBM, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak (BBM), yang diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2006 (tertanggal 25 Januari) tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Ini semua perlu waktu dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakan ketahanan energi. Bukan sebuah mimpi jika dalam beberapa waktu kedepan Indonesia bisa mengelola sumber-sumber energi secara mandiri. Dengan catatan adanya kerjasama antara pemerintah, masyarakat dan akademisi dalam sosialisasi energi pengganti minyak dan gas (migas). ©AP 2012




  

0 comments: